Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

â–ªtidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnyaâ–ª

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menebus Rindu

15 Februari 2016   15:24 Diperbarui: 15 Februari 2016   18:03 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic: lightandshadephotography.co.uk"][/caption]Pagi yang gerimis, tak mengizinkan para tetangga –yang biasanya wanita– keluar rumah untuk berbelanja. Yu Nem, dengan gerobak kayunya berkeliling menjajakan sayur-sayur segarnya. Namun pagi ini gerobaknya sepi dari jamahan tangan wanita. Suaranya serak, dihabiskan hanya untuk berteriak: Sayuuuuuuur.

Sementara ibuku, memulai peperangan di dapur dengan ikan lele yang gagal mati. Sungguh kasihan nasib ikan lele itu, nyawanya terancam hanya demi sarapan. Ibuku terlihat lebih marah dibandingkan dengan adonan yang menghasilkan kue bantat untuk arisan.

Dan ayahku, beliau sedang berada di beranda rumah dengan kain pel-nya. Aku sudah peringatkan agar menunggu gerimis berakhir atau setelah hujan badai –yang mungkin– datang. Tak menggubris. Malah asik menungging sambil mengusap-usap lantai.

Biasanya aku menghabiskan pagi dengan melahap kabar dari KOMPAS atau mencuri kehangatan dengan melompati halaman-halaman kumpulan cerpen pemberian kawanku bersama dengan secangkir madu hangat tanpa perasan lemon.

Kali ini, aku hanya berdiri di balik jendela kamarku. Jendelaku terbuat dari kaca tembus pandang berwarna kehitaman. Berlama-lama aku pandangi pantulan wajahku. Mirip ibu. Kata pamanku, aku lebih pantas menjadi adik ibu dari pada anaknya.

Di balik jendela kamarku, di luar sana, di tengah rintik hujan, anak-anak yang kira-kira berumur sembilan tahun, berseragam putih merah, sedang tertawa sambil berlarian. Sedangkan pantulan wajah yang mirip ibu, tak mampu tertawa. Lebih buruk dari murung namun tak menitikkan air mata. Mungkin belum.

Aku memainkan embusan napas yang membentuk titik-titik air pada jendela dengan ujung jari. Aku menggambar bentuk hati yang terbelah. Seperti yang sering digambarkan oleh orang-orang yang patah hati.Namun aku tak sedang patah hati. Ibu tak mengizinkanku pacaran. Mungkin belum.

Di kamarku hanya terdapat satu jendela kaca. Aku paham, jendelaku itu sangat kesepian, oleh sebab itu, pagi ini aku berlama-lama memandanginya. Kaca dengan gambaran hati terbelah itu sepertinya mengetahui bahwa hatiku –yang di dalam sini– benar-benar terbelah.

Ibu tak pernah tahu, pun ayah. Seminggu lalu, ketika ketinggalan kereta, aku berjumpa dengan seorang pria. Dia juga tertinggal –atau mungkin sengaja tertinggal– kuda besi itu. Kami berkenalan di depan dua cangkir kopi hitam. Aku tak bisa minum kopi, tapi aku mencoba untuk menghargai. Ia membayar kopiku tentunya dengan hasil keringatnya.

Pria itu –yang belum sempat kutanyakan namanya– memandangiku dengan mata sendu. Aku tahu bahwa hari-hari ini langit menyukai warna kelabu, tapi mengapa matanya juga? Tapi syukurlah bahwa hujan tak terumpah dari keduanya, sebab aku belum siap basah.

Ia menemaniku menunggu kereta terakhir. Malam yang dingin, membuat tubuhku gemetar. Ia menangkapnya melalui kedua jemariku yang memucat resah. Dipeluknya jari-jariku dengan telapak tangannya. Hangat. Detak jantungku seperti kuda yang lepas dari kandangnya. Berlarian senang. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku malu. Kata ibuku, jika malu menyerbu, maka pipiku akan berwarna seperti tomat masak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun