Kau pernah membunuh? Pastinya sasaran yang berhasil kau jatuhkan dengan kedua tanganmu adalah sekumpulan nyamuk-nyamuk kecil yang kau anggap berdosa di bawah kolong kasurmu. Lantas bagaimana mereka bisa hidup tanpa darahmu? Ah, Tuhan sudah perkirakan bahwa seluruh darahmu takkan muat jika berpindah tempat dalam perut nyamuk itu. Buktinya kau masih hidup bukan?
Aku juga akan lakukan hal yang sama sepertimu. Membunuh seekor nyamuk. Nyamuk ini sangat hebat kata orang. Tentunya tidaklah sama dengan nyamuk pada kolong kasurmu. Perutnya sungguh buncit. Mukanya menjijikkan. Brewoknya apalagi. Yang menarik hanyalah kantongnya, tempat dimana ia biasa hamburkan uang. Sejenis orang kaya, tapi bagiku ia hanyalah seekor nyamuk yang layak mati. Di tanganku.
Dendam?
Kau salah besar jika menyangkaku mendendamnya. Aku tak pernah berbicara, bertatap muka atau turut mencicipi uangnya. Aku tak pernah mengenalnya.
Heran? Akan kuberi tahu jika kau ingin hilangkan heranmu.
Aku dibayar untuk hal ini. Membunuh!
Dan mengenai harga untuk setiap nyamuk yang aku habisi, tanyakan saja pada Cloudy, istriku.
Tentang Cloudy, dia adalah satu-satunya wanita yang sangat berarti dalam hidupku. Cloudy sanggup menerimaku, tak seperti ibuku. Aku dibuangnya begitu saja setelah ibu menghabisi nyawa ayah di depan mataku, demi cintanya pada lelaki keduanya. Kau tahu artinya itu? Ibu tak pernah mencintaiku dan ayah.
Aku berjanji akan menjadi malaikat maut bagi ibu dan lelaki racun itu. Ibu seperti ular. Setelah asyik menari-nari pada tubuh ayahku, ia memagutnya. Mengeluarkan bisanya hingga membuat ayah mati. Dasar wanita ular!
Keinginanku hanya sekadar cita-cita, sebab seorang pria telah mengakhiri hidup mereka berdua. Sang pencabut nyawa! Dialah Demon, yang menjadikanku anaknya! Hidupku tak serumit yang kau kira, selebihnya otakmulah yang mirip benang kusut.
***