[caption caption="pic: justpaintit.storenvy.com"][/caption]
Aku mempunyai burung-burung. Ada tiga ekor di sangkar, lima ekor di atas ranting pohon mangga, dan dua ekor di dalam rumah bersama ayah dan adik laki-lakiku. Jadi, hitung saja sendiri berapa banyak burung-burung yang aku miliki sebenarnya. Namun sayangnya, burung-burung itu mati dan menghitam.
Tetiba ibu muncul di hadapanku dengan membawa segelas susu. “Minumlah,” kata ibuku. Aku menolaknya. Sungguh tak masuk akal, masakan hanya karena penolakanku, ibu pun menyusul burung-burungku yang mati. Ibu mati. Menghitam.
Aku menangis memandangi ibu yang seperti itu, sedangkan ayah tertawa terbahak. “Mengapa ayah tertawa?” tanyaku. “Bukankah ayah melihat bahwa ibu telah mati?”
“Ini pertanda bahwa ayah boleh kawin lagi,” sahutnya.
Setelah melipat sarung pada pinggangnya, ayah menyisir kepalanya yang botak. “Kau jaga rumah dengan adikmu.”
Tidak biasanya ayahku sewangi ini. Bukannya menguburkan ibu, ayah malah sibuk membolak-baliknya badannya di depan kaca. “Ayah mau kemana?”
“Memangnya hanya anak muda saja yang boleh malam mingguan?”
“Jasad ibu bagaimana?”
“Tempelkan saja di dinding maka akan lenyap dengan sendirinya.”
Aku masih tak mengerti dengan apa yang ayah pikirkan. Mungkin sekarang ada metode penguburan terbaru dengan cara menempelkan jasad pada dinding, kemudian akan datang semut-semut, rayap atau cicak yang memakan tubuh ibuku.