[caption caption="pic: images.nymag.com"][/caption]
Semalam aku bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas jerami. Bajunya sedikit basah dengan wajah yang penuh resah. Dipejamkannya kedua matanya sembari menikmati melodi hujan yang berjatuhan. Pada matanya yang terpejam, ada senyum tertahankan.
Sementara di sudut lain yang jauh dari tumpukan jerami itu, aku tersihir. Mematung tanpa bisa berkata-kata. Kucoba menampar diriku sendiri berulang kali, namun gagal. Aku gagal tersadar dari anganku yang sedang bercengkrama hangat dengan lelaki itu. Lelaki yang terbaring di atas jerami.
Aku seperti telah lama mengenalnya, jauh sebelum kami bertemu. Ada ikatan yang tak mampu kuterjemahkan. Ada rasa yang tak mampu kutahan untuk tidak mengacaukan ruang pikir dan hatiku. Ada rasa memiliki yang begitu besarnya, bahkan melebihi jumlah nyawa yang kupunya.
“Mengapa kau ada di sini?”
Pertanyaan terbodoh yang pernah kubuat yang meluncur begitu saja yang mungkin sedang menerobos lobang telinga yang tertutup jerami.
“Kau berbicara denganku?”
Lelaki itu membuka matanya, mencari sumber suara dan menemukan aku.
“Adakah rintik hujan bertelinga?”
“Bagaimana bisa mewakili hatimu yang sedang sendu itu jika memang tak mampu mendengar?”
“Kau lancang sekali, sok membaca hatiku!”