[caption caption="pic: aninda-online.com"][/caption]Lelaki itu mendobrak pintu lalu menghampiriku. Dilemparnya kain-kain yang tertumpuk di atas meja kemudian menginjaknya dengan kakinya yang berlumpur. Matanya merah dan bibirnya mendesis. Aku melihatnya seperti kerasukan setan. Setan-setan yang berasal dari tempatnya berjudi. Setan-setan yang dibawanya pulang.
“Wanita kurang ajar! Pembawa sial!”
Kuhentikan ayunan kakiku. Kudekap kebaya biru. Dibaliknya mesin jahit peninggalan ibu. Kulihat rodanya menggelinding, jarumnya patah, benang terurai, juga badan mesin yang terbelah. Mesin jahit itu, pencari nasi anakku.
“Pak, sadar pak…” ucapku lirih. Lelaki itu menatapku.
“Sadar katamu? Kau pikir aku ini gila, hah?”
PLAK!
Tangan kanan lelaki itu baru saja memalingkan paksa wajahku. Napasku satu-satu. Menahan geram yang hampir muntah melalui bibirku. Seketika hilang rasa sakit itu manakala kulihat Hartini –anakku, berdiri di depan pintu kamarnya. Mata Hartini berkaca-kaca, tangannya meremas-remas ujung bajunya, bibirnya bergetar. Kurasakan hati Hartini yang ketakutan melihat bapaknya. Bapak yang selama ini ia banggakan kebaikannya pada teman-temannya.
“Hartini, masuklah, Nak. Ibu tidak apa-apa.”
Hartini menurut. Diputar badannya memasuki kamar. Mungkin hatinya sedang penuh tanya, mengenai bapaknya yang tidak biasa. Anakku telah melihat kebanggaannya memukul ibunya. Memukulku.
“Aku menyesal telah menikahimu, Kartini! Aku menyesal!”
“Pak, saya ambilkan minum dulu ya, biar lebih tenang.”