Gana | pic: www.deviantart.com
Pada kedua mata ini terlahir rindu yang tak tertahankan. Rindu akan sebuah peluk dan cumbuan hangat yang melekat pada keningku. Seperti pagi itu, di mana kabut masih pekat, ibu menyelimutiku dengan bajunya, kemudian membawaku pergi.
Roda-roda kayu berputar, bergerak dan membawaku semakin jauh dari perkemahan. Di sela-sela hentakan kaki kuda, kudengar teriak-teriak berguguran. Ibu menangis, melepas pandang jauh ke belakang. Ada duka yang tercurah melalui air mata ibu.
“Michael, suruhlah kudamu berlari lebih cepat lagi!”
“Kau tahu sendiri Ruth, kuda kitalah yang paling cepat dibandingkan dengan milik mereka.”
“Nyawa kita dalam bahaya sekarang!”
“Aku tahu itu, cobalah untuk lebih tenang dan aku akan mencari jalan lain.”
“Anak ini belum saatnya untuk mati, Michael.”
Aku tak mengerti apa yang ayah dan ibu perbincangkan. Yang kupahami adalah pagi akan segara tiba, terlihat dari angkasa yang mulai pudarkan gulitanya. Ibu mendekapku begitu eratnya, seolah-olah tidak akan melepaskanku untuk satu alasan apa pun.
Ayah menepikan kudanya, menurunkan kami.
“Mengapa kita berhenti di sini, Michael? Kita masih sangat dekat dengan perkemahan.”