[caption caption="pic: cdn-2.tstatic.net"][/caption]Desol, No. 1
Tanah ini masih sangat basah. Terlebih hujan begitu merestui. Hingga siang bersembunyi dan tanggalkan jubahnya, aku masih terdiam di sini. Di pekuburan ayah. Ayahku mati tadi pagi, dekat pohon kelapa di depan rumah. Orang bilang, ayahku mati terkena serangan jantung. Dugaan itu juga diperkuat oleh pengakuan Pak Sadikin, di mana sempat melihat ayah kesakitan memegangi dadanya.
Aku tak percaya. Sewaktu aku memeriksakannya seminggu lalu, dokter di balai desa mengatakan bahwa ayahku sehat dan hanya membutuhkan istirahat untuk penyembuhan influenza-nya. Lantas dari mana datangnya sakit yang menyerang jantung ayahku dan membuatnya mati?
Udara di pekuburan semakin menusuk tulang. Dinginnya melebihi udara pegunungan. Bajuku basah oleh restu hujan yang sedari tadi samarkan tangisku. Aku harus segera ucapkan perpisahan pada tubuh ayah yang telah tertanam, mengakhiri sedih untuk kemudian melajutkannya di rumah.
Langkahku jauhi pekuburan. Katak-katak berlompat-lompatan. Katak-katak bersorak. Daun-daun berguguran terterjang hujan. Daun-daun bisikkan kepedihan. Burung-burung terbang berpindah teduh. Burung-burung sampaikan perpisahan kekal. Langkahku tetap jauhi pekuburan.
Di sepanjang jalan, tatap-tatap kasihan menyambutku. Mereka iba padaku yang kini yatim piatu sejak ayah mati tadi pagi. Aku bukan anak yang terlahir karena iba, juga kasihan. Ibuku menjerit serta mengejan dalam kesakitan saat berjuang melahirkanku, agarku tak lagi bernapas dalam rahimnya.
Rumahku berada di ujung jalan. Masih penuh dengan kursi, juga bunga-bunga duka cita kiriman warga. Mereka yang sedari pagi memadati rumahku, kini telah kembali menemui kebahagiaannya masing-masing. Sedangkan diriku, aku akan mulai mengencani sepi pada malam ini.
Aku memasuki rumah, mengunci pintu dan membiarkan kursi-kursi plastik berserakan di halaman rumah bermandikan hujan. Aku tak begitu mengkhawatirkan kursi-kursi plastik itu, sebab mereka akan selalu bersama-sama hingga pagi tiba.
Setiap sudut ruangan di rumahku menjadi lebih dingin. Dinding-dinding membeku sebab tak lagi menyerap tawa. Meja di dapur juga bersih, tak terhidang makan malam. Aku tak begitu mempermasalahkannya. Aku tidak lapar. Perutku telah penuh dengan kehilangan yang kutelan mentah-mentah.
***
Sudah tengah malam. Aku masih terjaga. Kuputuskan untuk memejamkan mata di kamar ayah dan menghirup jejak-jejaknya di sana. Ayah meninggalkan kamarnya dengan sangat berantakan. Baju-baju berserakan, dan aku harus merapikannya untuk terakhir kali.