[caption caption="pic: qbuzz.qnet.net"][/caption]
Esok kau akan pergi. Aku belum siap. Aku kesulitan untuk mengusir rasa kehilangan itu dari hatiku. Gemuruh itu mengacaukan pikirku sehingga tanpa kusadari mataku telah basah. Sungguh aku tak ingin menangis, katamu kau benci perempuan yang menangis. Dengan buru-buru aku menyekanya dengan kedua tanganku.
Aku harus bagaimana menghadapi hari esok? Bagaimana jika sepotong senyum itu tak lagi kunikmati setiap pagi? Lalu senyum siapa yang akan menyemangatiku? Senyum pak satpam yang berkumis itu? Ah, kau jangan becanda. Aku sedang ingin serius saat ini.
Sedang kuingat-ingat setiap lekuk wajahmu. Aku membayangkannya. Wajahmu biasa-biasa saja dengan tatap mata yang mematikan. Aduh! Aku harus bersiap-siap untuk menikmati kematian yang jauh lebih mematikan ketika harus kehilangan matamu itu.
Mampus! Aku takut esok akan segera tiba. Aku takut di atas mejaku tergeletak ucapan selamat tinggal darimu. Aku takut jika kaki ini memaksaku untuk berlari dan mengejarmu sehingga kutinggalkan pekerjaanku. Kau tahu kan, aku bisa berbuat bodoh saat kudapati diriku sedang terancam. Kepergianmu adalah ancaman bagiku.
Malam ini aku akan segera berkemas. Aku ambil koper terbesar, kebetulan berwarna kelabu, sama seperti hatiku. Kumasukan semuanya yang selama ini kusembunyikan dalam almariku juga kolong tempat tidurku. Sepotong, dua potong, tiga potong, lima potong hingga potongan keseratus telah tertata rapi dalam koperku.
Aku mengetuk pintu rumahmu. Tok tok tok. Kau menyambutnya dengan senyum lebar.
“Hei, kau mau ikut pergi denganku esok hari?”
“Cukup sekoper kenangan ini saja yang akan turut pergi denganmu agar tak ada lagi rindu yang tersisa dalam hatiku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H