Tubuhnya merangkak di antara rumput-rumput kering. Tangannya meraih batang bambu, memukul-mukulkannya di atas kepalanya sendiri. Dari pelipis kanannya, keluar darah segar. Mukanya merah sebelah. Hujan kemudian turun, mengguyur tubuh renta yang tergeletak di tengah hutan.
Sekumpulan anjing berlari dari utara, mendekati tubuh renta itu. Induk dan beberapa ekor anaknya menjilati wajah keriput yang merah sebelah. Air liur para anjing memaksanya membuka mata. Manusia renta mengambil sebatang bambu kemudian melemparkannya ke arah anjing-anjing.
“Pergi kalian dari sini! Dasar anjing!”
Anjing-anjing itu telah berhasil membuatnya marah, sama seperti lima anak muda yang mendatangi gubuknya semalam.
Selesai menumbuk beberapa kuntum bunga juga daun-daun, manusia renta itu menuangkan air dari kendi. Diaduknya beberapa saat, sebelum dicampur dengan irisan daun sirih. Ia mengoleskan ramuan itu ke atas tubuh yang terbaring lemah di sampingnya. Ramuan manusia renta itu membuat jemari kakinya bergerak-gerak.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kayu gubuknya terketuk. Manusia renta meraih tongkat. Matanya menerobos celah-celah dinding beranyaman bambu. Dilihatnya lima pemuda berdiri menanti dirinya membuka pintu.
“Mau apa kalian mendatangi rumahku!”
“Tolong kembalikan teman kami.”
“Temanmu yang mana? Teman kalian sudah mati!”
“Kami tahu, kau menyembunyikannya di dalam sana.”