Membiarkannya terbaring di sampingku adalah sebuah kesalahan. Tubuhnya mengalami kekalahan yang bertubi-tubi. Pernah aku melihat, suatu malam ia menangis di dekat jendela. Kamar kami hanya berbatas tirai, saat angin menyingkapnya, aku dapati dirinya gagal menahan air mata.
Laki-laki itu tenggelam di antara buku-buku. Seolah ia hanya akan bernapas setelah menyelesaikan lembar terakhir. Aku menjadi khawatir, mampukah ia mempertahankan denyut nadinya saat kata-kata itu menghajarnya.
“Kau begitu mencintai buku-buku?”
“Seperti kau mencintai laki-laki itu. Dia penyuka buku bukan? Kau selalu bercerita bahwa setiap minggunya ada puluhan buku yang berhasil dilahapnya.”
Dia mengakhiri pembicaraan kami dengan menarik selimut abu-abu miliknya. Tak seorang pun diizinkan merasakan hangatnya meringkuk di balik selimut itu. Katanya, selimut itu akan mendatangkan duka mendalam bagi siapa saja yang mencurinya.
Ibunya membungkus tubuhnya dengan selimut abu-abu. Waktu itu ia masih berumur dua bulan. Di tengah gerimis, pintu terketuk. Digeletakkannya begitu saja dirinya yang hampir membiru kedinginan. Laki-laki itu masih berduka tentang dirinya sendiri –di masa lalu.
Tiba-tiba, aku ingat kemarin. Ia sama sekali tak menghentikan gerakan jarinya. Tombol-tombol itu hampir kehilangan hurufnya. Aku menjadi takut jika layar monitor itu menghisapnya dan membuatnya lenyap dari hadapanku.
“Apa yang kau lakukan!”
“Aku hanya merangkai sebuah cerita. Kau cinta laki-laki yang pintar mencipta cerpen bukan?”
“Laki-laki itu tak pernah ada dalam hidupku!”
“Tapi dia terus hidup dalam imajinasimu! Aku hanya tak ingin kau menjadi gila!”