Peb, kemarin aku mencarimu, hendak mengajakmu santap malam. Aku memasak semur bola mata para hidung belang, juga menumis lidah mereka. Rasanya gurih, Peb. Segurih bujuk rayu yang layu di bawah kakiku.
Kau tahu? Ketika aku memotong salah satu, dengan matanya yang melotot, laki-laki itu memohon ampun. "Ampun Nyonya, aku tidak lagi merayu gadis-gadismu."
Gadis-gadisku mati di pekarangan. Serupa kuncup-kuncup yang gagal bermekaran. Sekumpulan kumbang laknat menghisap tanpa sisakan detak.
Peb, tunggu aku di ujung bibirmu. Kubawakan bola mata yang paling kurang ajar untuk kau santap dari atas lidahku.
Jangan girang, Peb. Jangan berpikir beradu cumbu denganku. Lidahku adalah belati yang siap mencincang rayu-rayu busuk di balik bibirmu.
O, Peb...jangan melihatku dengan tatap itu atau kau akan kehilangan kedua bola matamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H