Ia terdiam.
“Dimana pandaku?”
Diperhatikannya sekeliling. Kepalanya berputar. Ia merangkak. Mendekat. Aku terkunci pada sudut ruangan ini. Mendadak bisu. Lidahku kelu. Keringat dingin bercucuran. Sepertinya aku akan mati.
Ia dapati boneka panda yang terletak di ujung kakiku. Aku menahan napas. Wajahnya kini berada tepat di depanku. Dekat sekali, hingga helaian rambutnya menyentuh hidungku. Dengan perlahan ia angkat wajahnya. Tidak mungkin!
“Hai, diriku!”
***
Meja kayu, kursi besi, setumpuk buku, secangkir kopi, sebuah laptop, sebatang rokok, dan manusia kering yang terbaring pada lantai putih berselimut debu-debu. Di sampingnya jendela terbuka dengan beberapa pot bunga. Bunga-bunga setengah hidup. Daun-daun melayu. Kuncup-kuncup gagal bermekaran.
“Apa yang terjadi dengan Sukma?”
Manusia tambun yang terduduk di sofa tua bersuara. Dikenakannya kemeja dengan kancing sebatas dada. Tangan kanannya di atas kepala. Jemarinya sibuk mencari kutu-kutu yang bersembunyi dibalik rambut kribonya.
“Sukma akan menemui takdirnya.”
Manusia kering berikan jawab. Tatapannya terarah pada langit-langit kamarnya. Langit-langit yang sungguh kasihan. Penuh lobang. Tak jarang tikus-tikus sialan mengencinginya.