Gadis itu melempar bonekanya tepat ke arahku. Ia memegang kapak dengan kedua tangannya kemudian mengayunkannya pada perawat tanpa kepala. Ia lakukan berulang kali, serta tak diloloskannya kepala yang telah kehilangan kedua mata juga telinganya.
“Hei, mau lari kemana kau!”
Perawat sebatas pinggul gagal berlari. Gadis itu memotongnya menjadi enam bagian kemudian menggigitinya. Darah mengaliri pori-pori leher juga tangannya. Ia menjilati jari-jarinya mirip anak kucing.
“Ayah kesakitan? Perawat-perawat itu sudah mati.”
“Terima kasih, Nak. Kau datang tepat waktu.”
“Aku akan sembuhkan luka ayah.”
Dirobeknya gaun merah jambu yang ia kenakan. Dibalutkannya pada tubuh ayah yang terluka. Ia memeluk tubuh ayahku lalu menciuminya. Ayah meringis, sepertinya ingin katakan sesuatu, sebelum pada akhirnya lidahnya menjulur. Gadis itu melepaskan kedua tangannya dari leher ayah.
“Selamat tidur, Ayah.”
Gadis itu berdiri. Wajahnya masih tertunduk dengan rambut menyentuh lantai. Ia tertawa terbahak. Dinding-dingin pantulkan tawanya sampai ke telingaku. Kurasakan sakit pada kedua gendang telinga, disusul dengan cairan yang meleleh keluar. Darah!
Kembali ia terduduk. Ia menangis. Jemarinya mencakar-cakar lantai.
“Ayahku mati. Ayahku mati. Mati berkali-kali.”