Gincu merah tua telah tersapu pada bibirnya. Seksi. Itulah kesan pertama tiap mata lelaki ketika memandangnya. Rambutnya dibiarkan terurai dengan memamerkan jajaran mutiara bernilai milyaran rupiah yang menghiasi leher jenjangnya.
Beberapa pasangan mata lelaki hidung belang terus meniti tiap lekuk tubuhnya. Dia tak menggubris, hanya secangkir kopi hitam yang mampu mencuri perhatiannya di kafe itu. Jemarinya sesekali membolak-balik halaman utama sebuah koran nasional. Sesekali juga ia terkikik.
“Lima tahun, bukan waktu yang singkat untuk menunggu hari ini. Aku akan memberikan apa yang kau mau. Tubuhku,” gumannya.
Telepon genggamnya berdering. Ia melepaskan kacamata hitamnya lalu tertawa.
“Kerja yang bagus. Aku akan memberi bonus untuk kalian. Hahaha...”
Ia bergegas menuju mobilnya. Dua jam lagi ia harus sudah berada di sebuah hotel berbintang untuk melunasi janji pada kekasihnya.
***
Kamar 102...
“Kurang ajar! Wanita-wanita itu mati bunuh diri!” teriak lelaki itu sambil melempar koran ke ranjang.
“Kau takut?”
“Tidak ada yang aku takuti, bahkan maut sekalipun. Aku hanya tak ingin kehilangan mainanku. Kini hanya tersisa dirimu dan sudah kupastikan bahwa hidupmu akan berakhir sama seperti mereka.”