Pemerintah secara resmi telah mencabut status pandemi Covid-19 pada 21 Juni 2023. Indonesia pun resmi masuk di fase endemi. Harapannya, di fase endemi ini, perputaran roda ekonomi bisa lebih maksimal.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pendemi Covid-19. Salah satunya, bagi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu merancang APBN yang bisa lebih adaptif, fleksibel, antisipatif, dan berdaya tahan dalam menghadapi ketidakpastian yang tidak terduga (unexpected risk), seperti pandemi ini. Harapannya, jika APBN bisa dirancang sedemikian, maka APBN bisa lebih siap dalam menghadapi gejolak perekonomian yang dipicu oleh ketidakpastian yang tidak terduga.
Harus diakui bahwa pandemi membuat mobilitas terhenti untuk meredam penyebaran infeksi. Akibatnya, aktivitas ekonomi terhenti dan membuat stabilitas makroekonomi terganggu. Tingkat kepercayaan konsumen dan produsen merosot. Sehingga, jika terus dibiarkan, maka perekonomian bisa jatuh ke jurang resesi yang lebih dalam.
Nah, di sinilah peran APBN sebagai instrumen pemerintah dibutuhkan untuk mencegah kejatuhan ekonomi ini. APBN diarahkan lebih ekspansif dengan memperbesar alokasi belanja, khususnya di sektor-sektor terdampak, seperti sektor kesehatan dan perlindungan sosial. Tujuannya, agar nyawa dan kehidupan sosial bisa diselamatkan, siklus ekonomi bisa didorong naik, dan stabilitas makroekonomi bisa dikembalikan.
Ekspansi fiskal yang sehat seharuanya ditopang oleh penerimaan pajak yang mumpuni. Masalahnya, di tengah aktivitas ekonomi yang terhenti akibat pandemi, penerimaan pajak tertekan. Sepanjang tahun 2020, misalnya, penerimaan pajak hanya Rp 1.072,1 triliun atau turun sebesar 16.9 persen (yoy). Padahal, belanja mencapai Rp 1.833 triliun atau naik sebesar 22.5 persen (yoy).
Mengingat kondisinya darurat, maka pilihan terbaik ialah memperlebar defisit APBN di atas level ‘normal’ yang diizinkan Undang-Undang (UU) sebesar 3 persen dari PDB.  Untuk itulah lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 tahun 2020 yang segera menjadi Undang-Undang No 1 tahun 2020.
Intisari dari UU ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk melebarkan defisit APBN di atas 3 persen dari PDB dan mengizinkan Bank Indonesia (BI) membeli Surat Berharga Negara (SBN) melalui pasar primer. Dan, tahun 2020, defisit APBN sebesar Rp 947.7 triliun (6.14 persen dari PDB). Pembiayaan defisit melalui penerbitan SBN yang disokong oleh BI melalui kebijakan berbagi beban (burden sharing).
Pendeknya, kebijakan fiskal yang ekspansif ini mampu menahan perekonomian jatuh lebih dalam ke jurang resesi. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi 2020 yang ‘hanya’ terkontraksi sebesar 2.07 persen (yoy). Capaian ini jauh lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang kontraksi pertumbuhannya jauh lebih besar.
Memasuki tahun 2021, situasi pandemi belum selesai. Ekspansi fiskal terus berjalan. Namun, ekspansi fiskal ini mulai ditopang oleh penerimaan pajak yang lebih baik, seiring dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan segera jadi UU. Salah satu tujuan dari UU ini mendorong basis pemajakan. Salah satunya, melalui pajak dari transaksi jual dan beli secara elektronik (e-commerce) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sepanjang 2021, penerimaan pajak naik sebesar 19.3 persen (yoy) menjadi Rp 1.278,6 triliun. Pajak ini digunakan untuk membiayai belanja yang tumbuh 9 persen (yoy) sebesar menjadi Rp 2.000, 7 triliun. Penerimaan pajak yang mumpuni ini, membuat defisit APBN 2021 mengecil. Alhasil, ekspansi fiskal ini mampu mengungkit mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 3.69 persen (yoy) yang diikuti dengan terkendalinya stabilitas makroekonomi.Â