Mohon tunggu...
Desmon Silitonga
Desmon Silitonga Mohon Tunggu... Lainnya - Analis PT Capital Asset Management

Membaca dan menulis adalah caraku untuk merelaksasi diri dan melakukan dialektika.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

APBN, Pajak, dan Stabilitas Ekonomi

28 Juni 2023   16:45 Diperbarui: 28 Juni 2023   16:49 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pajak.com

Memasuki tahun 2022, terjadi invasi militer Rusia terhadap Ukraina dan kenaikan agresif suku bunga oleh Bank Sentral AS (The Fed). Dampaknya, membuat harga komoditas melambung dan nilai tukar rupiah melemah. Tingkat inflasi domestik terkerek naik, apalagi setelah pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi sekitar 30 persen. Akibatnya, stabilitas ekonomi kembali terganggu dan daya beli masyarakat, khususnya kelompok masyarakat bawah terpukul.

Di tengah situasi ini, APBN hadir untuk menstabilkan perekonomian akibat tekanan inflasi. Belanja subsidi energi dan perlindungan sosial ditingkatkan. Subsidi energi naik 48.8 persen (yoy) sebesar Rp dan belanja perlindungan sosial naik 7.4 persen (yoy) sebesar Rp 502.6 triliun. Namun, karena penerimaan pajak tumbuh sebesar 25.8 persen (yoy) sebesar Rp 1.608,1 triliun yang dipengaruhi oleh implementasi UU HPP dan booming harga komoditas, maka ekspansi fiskal itu tidak membuat defisit membesar. Sebaliknya, defisit terus mengecil menjadi Rp 732,2 triliun (3.92 persen dari PDB). Selain itu, sepanjang 2022, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5.31 persen (yoy) yang diikuti dengan terjaganya stabilitas makroekonomi.

Konsolidasi APBN

Sesuai dengan mandat UU No 1 tahun 2020, maka pada tahun 2023 APBN akan melakukan konsolidasi. Defisit APBN akan dikembalikan di bawah 3 persen dari PDB. Beban utang dan defisit akan terus diperkecil, agar APBN bisa kembali sehat dan berkelanjutan. Berkaca dari negara-negara maju, tingkat utang dan defisit yang besar yang diikuti dengan penerimaan yang merosot membuat manuver fiskal untuk menghadapi inflasi yang tinggi menjadi sulit dilakukan.

Meski begitu, konsolidasi fiskal ini harus dilakukan secara cermat dan terukur. Apalagi, risiko perlambatan ekonomi global masih menghadang. Hal ini berpotensi membuat momentum pertumbuhan ekonomi yang ekspansif bisa tersendat. Untuk itulah, ekspansi fiskal dibutuhkan, khususnya bagi sektor-sektor yang memberikan efek berganda pada perekonomian. Sementara, belanja harus bisa lebih difokuskan, efisien, dan efektif. Sehingga, belanja dapat memberikan stimulasi bagi aktivitas perekonomian.

Tentu saja, implementasi UU HPP harus terus dimaksimalkan. Potensi pajak baru harus dapat dimaksimalkan, sehingga tidak hanya bertumpu pada sektor ekstraktif yang cukup fluktuatif. Penggalian potensi pajak baru ini penting dilakukan mengingat rasio pajak terhadap PDB Indonesia merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara G20. 

Padahal, peranan pajak dalam menyokong pertumbuhan ekonomi, memproteksi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, khususnya kelompok rentan, dan menstabilkan perekonomian sudah terbukti sepanjang tahun 2020-2022, ketika perekonomian hampir 'tenggelam' oleh dampak pandemi. Dan, tentu saja, penegakan tata kelola perpajakan harus terus ditingkatkan secara konsiten dan disiplin. Sehingga, tidak muncul lagi pelanggaran integritas dari aparat fiskus yang membuat masyarakat jadi antipati untuk membayar pajak secara sukarela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun