Kuta ujung, 22 Mei 2023
Tulisan ini ku torehkan di sela - sela jam kosong di hari senin yang sibuk. Mencoba menguji kembali kelihaian jemari yang sudah lama berhenti, terhipnotis oleh kesibukan yang melelahkan.
Ingatanku semerawut diantara kenangan - kenangan panjang, diantara slide kehidupan yang tidak ku mengerti. Aku terhenyak, ternyata sudah sejauh ini aku melangkah. Hidup di tempat yang belum pernah ku jajaki, menikah dengan pria yang ku temui dengan tidak sengaja, dan mempunyai anak yang lucu, dan sejubel cerita panjang nan pelik.
Apakah kau bahagia? Tanyaku pada diriku sendiri. Ntah kenapa, tiba - tiba pertanyaan monohok itu yang terlintas di kepalaku. Pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa menjawabnya dengan cepat.
Ku telisik isi hatiku, mencoba menemukan apa makna kehidupan yang sudah ku jalani beberapa tahun terakhir. Perlahan kenangan - kenangan panjang menyeringai di kepalaku. Tiba - tiba, aku terhenti di masa lalu. Masa, dimana semua terasa menyenangkan versiku.
Aku rindu kehidupanku di masa lalu. Aku rindu tangan kekar yang selalu memelukku sambil berkelakar. Sampai - sampai aku pernah protes," Pak, aku bukan anak kecil", dan ternyata justru saat ini pelukan itu yang selalu ku rindukan. Di jamanku, bisa di bilang kebanyakan temanku punya hubungan yang buruk dengan "Bapak"nya. Mereka tidak dekat dan cenderung merasa sungkan berbicara dengan bapaknya. Seolah ada gap yang memisahkan. Sekarang aku justru bersyukur jika dulu aku dan bapak bukan sekedar anak dan orangtua, tetapi juga sahabat.
Ah, banyak sekali kenangan baik di masa lalu berjajar di kepalaku...
Jemariku terjeda, aku sibuk berkutat dengan kenangan - kenangan masa lalu. Sampai - sampai air mata berlinang tak terasa, begitu banyak hal yang perlu ku syukuri dalam hidupku. Bersyukur jika selama ini aku tidak pernah kekurangan kasih sayang dari orangtuaku, kakak abangku, dan juga teman - temanku.
Kembali lagi pikiranku berkutat. Lantas, sekarang apakah kau tidak bahagia? Belum juga ku temukan jawabnya. Ku timang kembali apa yang telah ku lewati beberapa tahun terakhir.
Meja operasi, sakit yang luar biasa, kehilangan laki - laki yang ku kasihi untuk selamanya, semua telah ku lewati dalam kurun waktu berdekatan. Belum lagi galau besar ketika memutuskan untuk menikah, terus bertanya-tanya pada Tuhan apakah aku telah membuat keputusan yang paling tepat, apakah aku bisa bertanggungjawab sepenuhnya dengan pernikahanku. Karena artinya, aku akan "meninggalkan" orangtuaku yang dalam arti harafiah mereka tidak lagi ikut andil ikut campur dalam segala keputusan rumah tanggaku. Apakah aku menikah dengan orang yang tepat, orang yang bisa tetap berjalan bersisian walau mungkin beda pemikiran.
 Hingga akhirnya Tuhan mengirimku malaikat kecil, Seraphine. Anak yang ku perjuangkan sedari dalam kandungan, orang yang pertama ikut merasakan perjuanganku. Anak yang ikut merasakan airmataku, dan tempatku bercerita segalanya walau ia sendiri tidak mengerti.