Sudah sore kala itu ketika jalanan kota Medan di jejali kendaraan yang padat merayap. Sudah jam pulang kerja, tak asing bila keributan dari klakson kendaraan yang meronta agar cepat-cepat tiba di tujuan. Angkutan umum (angkot) meliuk-liukkan diri agar bisa segera terdepan diantara kemacetan yang sungguh bising. Hm, supir angkot di kota Medan lihai-lihai. Mereka kebanyakan mantan pembalan F-1 sepertinya.
Di persimpangan jalan Aksara, seorang Ibu menggunakan kerudung hitam menyetop angkot merah 103 trayek Padang Bulan. Ia menaikkan anaknya terlebih dahulu, dan berjejal diantara penumpang yang sore itu sangat padat. Ia memangku anaknya yang jika di lihat dari kisaran usianya, mungkin ia sudah kelas 5 SD. Supir kembali melaju sambil berteriak "Bulan..Bulan..Bulan" sambil celingak -- celinguk memantau penumpang yang mungkin akan naik.
Semua baik-baik saja ketika angkot mulai melaju. Tidak ada penumpang yang saling bicara, semua terdiam dalam kelelahan masing-masing. Lagi pula, tidak ada yang saling kenal. Tiba-tiba anak yang di pangku si Ibu berjilbab hitam tadi berdiri dan hampir jatuh mengenai penumpang lainnya.
"Nak, jangan berdiri. Ayo duduk", dengan lembut wanita itu menarik kembali anaknya kepangkuannya. Tidak lama berselang, anak memegang tas penumpang lain yang ada di sisi kiri ibunya. Sontak si pemilik tas tersebut menepiskan tangan anak tersebut dari atas tas yang ada di pangkuannya.
"Jangan Nak, tidak boleh. Duduk tenang ya..", si anak menurut.
Akibat macetnya jalanan kala sore, butuh waktu yang cukup lama akhirnya angkot tiba di stasiun Kereta Api Medan. Ada penumpang yang masuk, yang akhirnya membuat angkot benar-benar padat. Si anak dipangkuan tersebut tampak mulai bosan. Ia kemudian menendang-nendang koper penumpang yang baru masuk. Si ibu berusaha menghentikan kaki anaknya, sementara si pemilik koper mulai menunjukkan mimik amarah. Beberapa penumpang lainnya juga tidak henti memandangi anak tersebut.
"Ik..u, Aku mak u..i..'', ia berbicara dengan vocal yang tidak jelas sambil menunjuk ke arah ibu yang membawa bungkusan plastik berisi makanan. Pasti anak tersebut menginginkannya. Ia terus berbicara sambil sesekali berteriak, alhasil beberapa penumpang merasa semakin ribut di tambah dengan kebisingan kendaraan lain di tengah-tengah kemacetan.
Merasa tidak di turuti keinginannya, anak tersebut mulai mengutak -- atik koper penumpang di depannya. Dengan lembut, wanita tersebut melerainya. Bukannya menuruti perintah ibunya, anak tersebut malah meronta dan semakin kuat menendang koper di depannya. Alhasil, bukan hanya koper yang di tendangnya tapi juga kaki si empunya koper.
"Bu, anaknya dong", wanita cantik si pemilik koper marah besar.
"Maaf ya, Bu. Anak saya sangat aktif", katanya memelas sambil memeluk anaknya erat. Karena merasa di kekang, anak tersebut malah menangis meraung-raung sambil menarik jilbab yang di pakai ibunya.
"Gimana sih, kalau punya anak AUTIS jangan di bawa naik angkot dong. Penumpang merasa terganggu..", si pemilik koper melontar kekesalannya. DERR!! Bak pisau tajam, rasanya ucapan tersebut terlalu kasar. Belum lagi ketika penumpang lain manggut-manggut sambil ikut menimpali,"kalau tau anaknya begitu, sekalian aja naik becak bu".
 Ntah karena tangisan anaknya sehingga ibu tersebut tidak mendengar atau karena ia sudah cukup sabar menghadapi ucapan seperti itu, wanita itu tidak bergeming.
Hampir jatuh air mataku ketika membayangkan bagaimana jika aku adalah wanita tersebut. Tidak ada wanita yang menginginkan anaknya tumbuh demikian.
Dalam tangisnya dan ucapannya yang kurang jelas, ia meminta agar ibunya jangan lagi membawanya menaiki angkot. Ia ketakutan.
Ku ingat, ada roti cokelat yang sengaja ku beli untuk pengganjal lapar di mobil selama perjalanan 4 jam menuju Sidikalang. Kuambil, dan ku sodorkan kepada anak tersebut.
"Adik manis, kakak punya roti. Mau nggak?". Ia terdiam sambil sesekali menarik ujung kerah baju ibunya. Dengan malu-malu, ia mengambil roti yang ku sodorkan. Ia mulai sibuk membuka bungkusan roti dan asik menikmatinya tanpa membuat gaduh lagi. Wanita itu menyeka air mata anaknya, mencium keningnya dan kemudian memeluknya. Tidak ada yang di ucapkannya, ia hanya menganggukkan kepala ke arahku dan tersenyum.
Ntah Karena memang sudah sampai tujuan atau karena menghindari anaknya membuat penumpang lain merasa tidak nyaman, ia menyuruh sang supir meminggirkan angkot. Melihat dari recehan yang ia berikan kepada sang supir angkot, bisa saja ia tidak punya uang untuk menyewa becak. Mungkin saja ia tidak punya kendaraan pribadi untuk membawa anaknya. Ah, Ibu mana yang menginginkan anaknya di hina dalam keadaan apapun itu.
Angkot kembali melaju. Membawa kemelut yang ada dalam hati. Tidak ada anak yang meminta dirinya terlahir sebagai Autis, tapi mengapakah kita manusia yang normal ini tidak bisa sedikit mengerti dengan keadaan tersebut.Â
Sang Ibu sudah di bebani dengan kondisi anaknya, di tambah lagi ucapan ucapan yang di dapatkannya mungkin tidah hanya di angkot saja. Tidak bisakah setidaknya kita tidak menyakiti perasaan orang lain dengan ucapan yang monohok?Pertanyaan yang begitu banyak menghantarkanku dalam perjalanan panjang menuju Sidikalang kala itu, dengan perut keroncongan belum makan sejak siang dan kue cokelat yang sudah kuberikan kepada anak tersebut. Ditambah, aku tidak punya uang lagi kala itu. Akhirnya, aku tertidur dalam gelap yang mulai menyapa menunggu tiba di rumah sambil memikirkan anak tersebut.Â
Medan, April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H