Sebuah Pesan...
Bulan Februari yang flamboyan, dipeluk rasa dingin kota Sidikalang dan embun sore yang mulai merayap menutupi kesibukan setiap insan. Masih terpekur dengan buku-buku, coretan-coretan kasar diatas kertas yang berserak asal, dan kursor yang menari menuliskan rentetan kata-kata nan panjang. Sesekali, menyesap hangatnya segelas kopi yang kepulan asapnya perlahan hilang bersama angin dingin. Plung! Muncul flowchart notifikasi di handpone. Berharap-harap cemas sebelum akhirnya membuka pesan. Huh, ternyata bukan.
Berjuang sebagai mahasiswa semester akhir tidak selalu mudah. Bukan hanya berjuang menyelesaikan skripsi sebagai bentuk pertanggungjawaban selama menjalani proses perkuliahan, tapi banyak juga aral lain yang lebih memusingkan. Menunggu jadwal dosen pembimbing misalnya. Ini minggu ke tiga sejak terakhir kali bertemu dengan doping alias dosen pembimbing. Kesibukan beliau yang sejubel, mana bisa disalahkan. Beliau berjanji akan mengabariku secepatnya jika ia sudah siap untuk ditemui. Alhasil, jadilah aku sang penunggu kabar yang terlunta-lunta sambil menekuri skripsi dan bagian-bagiannya yang tidak kupahami.
Ditambah penatnya pertanyaan-pertanyaan kapan wisuda?, aku memutuskan hengkang dari kota dimana aku menunut ilmu, menenangkan jiwa yang sebenarnya sama sekali tidak tenang. Aku kembali kekota asalku, kota yang kuyakini selalu menyambutku dengan hangat. Dan, setelah tiga minggu berlalu aku hampir putus asa.
Jam menunjukkan pukul 20.00 ketika aku terbangun. Ternyata aku ketiduran di beranda bersama kecaman dinginnya malam. Ada beberapa pesan. Aku sama sekali tidak tertarik, isinya pasti sama seperti tiga minggu terakhir. Tapi tunggu dulu...
"Besok jumpai saya dikampus jam 8. Terima kasih"
Panik. Kacau. Aku harus bagaimana? Bayangkan, jarak kotaku ke kota dimana aku menuntut ilmu harus ditempuh sekitar 5 jam belum lagi jika macet melanda. Sementara, transportasi umum mulai beroperasi pukul 2 dini hari, artinya aku harus berangkat subuh agar bisa bertemu dengan beliau. Tidak mungkin meminta agar jadwalnya diundur, sementara untuk bisa bertemu dengan beliau pun sangat pelik. Tanpa sadar, air mataku menetes. Antara marah, kalut, dan juga ketir membayangkan esok. Ditambah lagi, secara fisik aku lemah. Aku sama sekali tidak akan kuat menempuh perjalanan subuh dengan angin malam dikotaku yang teramat dinign.
Tiba-tiba, mama memelukku. Everything will be allright.
Pukul 2 dinihari, aku berangkat. Menembus dinginnya kota Sidikalang demi sebuah pertemuan. Mama membekaliku dengan beragam alat perang perjalanan. Mulai dari syal, selimut kecil, minyak angin, jaket tebal, dan tolak angin. Aku masih khawatir, mengingat aku pernah hipotermia. Meski demikian, semangatku tetap membaja.
Aku terbangun ketika bus akhirnya telah tiba. Aku sama sekali tidak ingat apa-apa. Kakiku terburu-buru turun dari bus, mencegat angkutan umum menuju kampus. Aku tidak sarapan, tidak mandi. Peduli apa, aku hanya ingin segera tiba dikampus. Dan benar saja, sang doping yang telah kutunggu-tunggu selama berminggu-minggu ini akhirnya menugguku dengan senyuman sumrigahnya. Segera kukeluarkan skripsiku untuk segera berkonsultasi. Setelah menghabiskan waktu yang cukup panjang berdiskusi, aku mendapat sebuah tulisan yang mengagetkanku.