Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Warisan Sang Maestro

2 Februari 2025   02:29 Diperbarui: 2 Februari 2025   02:29 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Kompas.com)

Tahun 2025 menandai satu abad kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro sastra Indonesia yang karyanya terus hidup dan relevan hingga kini. Lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, Pramoedya tidak hanya dikenal sebagai novelis ulung, tetapi juga sebagai saksi sejarah yang menyuarakan kritik sosial melalui tulisan-tulisannya.

Pramoedya Ananta Toer (sering disebut Pram) mengawali kariernya di dunia sastra sejak muda. Ia dikenal dengan gaya bertutur yang kuat dan penuh riset mendalam. Banyak karyanya yang menggambarkan penderitaan rakyat kecil, kolonialisme, dan perjuangan menuju kemerdekaan.

Karya terkenalnya, Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca ditulis saat ia dipenjara di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan. Meskipun ditulis dalam keterbatasan, novel-novel ini menjadi salah satu warisan sastra terbesar Indonesia.

Pramoedya tidak hanya menulis fiksi, tetapi juga esai dan sejarah yang menyoroti ketidakadilan dalam masyarakat. Karyanya sering kali membuatnya berselisih dengan penguasa. Ia pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda, kemudian oleh pemerintahan Soekarno, dan terakhir oleh rezim Soeharto.

Meskipun mengalami represi, Pramoedya tetap teguh pada prinsipnya. Karyanya dilarang di Indonesia selama bertahun-tahun, tetapi justru mendapat pengakuan luas di luar negeri. Ia menerima berbagai penghargaan internasional, termasuk Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts pada tahun 1995.

Sastrawan dunia mengakui Pramoedya sebagai salah satu penulis besar abad ke-20. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa dan menjadi bagian dari kajian sastra di berbagai universitas di dunia.

Beberapa sastrawan dan kritikus bahkan menyebutnya sebagai kandidat kuat Hadiah Nobel Sastra, meskipun ia tidak pernah memenangkannya. Hal ini tidak mengurangi pengaruhnya sebagai salah satu penulis terbesar dari Asia.

Meskipun Pramoedya telah berpulang pada 30 April 2006, pemikirannya tetap hidup. Bumi Manusia telah diadaptasi menjadi film pada 2019, membuktikan bahwa kisahnya masih menarik bagi generasi baru. Di usia 100 tahun ini, kita mengenang Pramoedya bukan hanya sebagai seorang sastrawan, tetapi juga sebagai pejuang kebebasan berpikir. Warisannya adalah pengingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk melawan penindasan dan mengubah dunia.

Seperti yang pernah ia tulis:
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun