Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panggil Tukang, Menghidupkan Budaya "DIY"

2 Desember 2024   02:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   02:27 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tukang Bangunan (Sumber: Kompas.com)

Kebiasaan memanggil tukang untuk berbagai pekerjaan kecil di rumah menjadi fenomena yang kian umum, terutama di tengah masyarakat urban. Mulai dari memperbaiki pintu rusak, mengganti kran bocor, hingga memasang rak, semuanya sering kali langsung diserahkan kepada tukang. Fenomena ini mencerminkan dua sisi: kenyamanan yang ditawarkan jasa tersebut, namun juga potensi hilangnya keterampilan dasar masyarakat.

Tidak dapat disangkal, kehadiran tukang adalah solusi cepat bagi mereka yang memiliki jadwal padat atau kurang memahami teknis perbaikan rumah. Apalagi di kota besar, keberadaan platform layanan on-demand membuat akses ke tukang menjadi lebih mudah. Dalam hitungan jam, masalah kecil bisa langsung terselesaikan tanpa perlu repot mencari alat atau mempelajari cara perbaikan.

Selain itu, memanggil tukang sering kali dianggap lebih efisien, karena waktu dan tenaga bisa dialokasikan untuk hal lain. Bagi sebagian orang, terutama generasi milenial dan Gen Z yang cenderung lebih fokus pada pekerjaan dan hiburan, membayar jasa tukang adalah pilihan yang masuk akal dibandingkan harus mencoba memperbaiki sendiri dengan risiko gagal.

Namun, kemudahan ini bisa menimbulkan ketergantungan. Banyak orang menjadi tidak peduli atau bahkan tidak tahu bagaimana cara menangani masalah kecil di rumah. Padahal, keterampilan dasar seperti memperbaiki engsel, mengecat dinding, atau mengganti keran seharusnya menjadi pengetahuan umum yang dimiliki setiap orang.

Ketergantungan ini juga memupuk budaya konsumtif. Alih-alih memperbaiki barang, banyak orang memilih mengganti dengan yang baru atau menyerahkannya kepada pihak lain. Jika dibiarkan, ini bisa memperburuk pola hidup yang tidak berkelanjutan dan meningkatkan limbah rumah tangga.

Menghidupkan Budaya "DIY" (Do It Yourself)

Untuk mengurangi ketergantungan ini, budaya do it yourself perlu didorong kembali. Belajar memperbaiki barang kecil di rumah bukan hanya soal menghemat uang, tetapi juga membangun kemandirian dan kepuasan personal. Dengan banyaknya tutorial yang tersedia di internet, hampir semua orang sebenarnya bisa mempelajari dasar-dasar perbaikan rumah.

Selain itu, mempraktikkan keterampilan ini bisa menjadi aktivitas keluarga yang menyenangkan. Anak-anak dapat diajari nilai kerja keras, ketelitian, dan rasa tanggung jawab terhadap barang-barang yang dimiliki.

Memanggil tukang tentu bukan hal yang salah, apalagi untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Namun, penting bagi kita untuk menyeimbangkan antara kenyamanan dan kemandirian. Memiliki keterampilan dasar untuk memperbaiki rumah adalah bentuk investasi diri yang tak ternilai, sekaligus langkah kecil menuju kehidupan yang lebih hemat, mandiri, dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun