Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekerasan Seksual: Bagaikan Gunung Es di Indonesia

22 Mei 2024   12:28 Diperbarui: 22 Mei 2024   14:39 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kekerasan Seksual (Sumber: Kompas.com)

Penghormatan terhadap hak atas hidup adalah komitmen global untuk menghentikan segala bentuk penghilangan nyawa manusia di seluruh dunia, seperti pembunuhan, honour killing, femisida, genosida dalam konteks perang dan atau konflik sosial bersenjata dan penghukuman mati. 

Atas putusan pidana mati terhadap HW dan di tengah-tengah tuntutan publik agar HW dihukum mati, Komnas Perempuan mendorong pengadilan untuk mempertimbangkan sanksi hukuman penjara seumur hidup seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolak hukuman mati bukan berarti tidak mendukung korban. 

Deklarasi Universal HAM Pasal 3 menyatakan, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu" (UU No. 39/1999 tentang HAM); Pasal 9 berbunyi, "Setiap orang berhak untu hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya." Pasal 33 ayat (1) "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya."

 Juga Kovenan Hak Sosial Politik. (a)   Pasal 6: "Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya". (b) Pasal 7. "Tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat  manusia".

Kekerasan seksual kerap kali diidentikkan dengan perempuan sebagai korban. Namun, realita berkata lain. Laki-laki pun tak luput dari jeratan kelam ini. Luka yang mereka alami tak kasat mata, dan penderitaan mereka sering terabaikan. Stigma maskulinitas yang melekat pada laki-laki menjadi penghalang utama mereka untuk membuka diri dan mencari bantuan. Dianggap lemah, tak jantan, bahkan pengecut, menjadi konsekuensi yang harus mereka tanggung. Hal ini membuat banyak korban laki-laki memilih bungkam, terjebak dalam lingkaran trauma dan rasa malu.

Dampak kekerasan seksual pada laki-laki tak kalah parah dibandingkan perempuan. Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), bahkan sampai keinginan bunuh diri, menghantui mereka. Kepercayaan diri runtuh, relasi sosial terganggu, dan kualitas hidup pun merosot.

Kasus Reynhard Sinaga, predator seks asal Indonesia yang menggemparkan Inggris, menjadi bukti nyata bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban. 195 korban laki-laki, mayoritas mahasiswa, menjadi saksi bisu kekejamannya. Kisah mereka membuka mata kita bahwa kekerasan seksual tak mengenal gender.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, mari ubah stigma. Percayalah bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Dengarkan suara mereka, berikan dukungan, dan jangan hakimi. Ciptakan ruang aman bagi mereka untuk berani berbicara dan mencari pertolongan.

Kedua, perkuat edukasi. Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan seksual tak hanya tentang penetrasi. Sentuhan tanpa persetujuan, voyeurisme, cyberbullying, dan segala bentuk pelanggaran seksual lainnya, termasuk dalam kategori ini. Edukasi ini perlu diberikan sejak dini, di sekolah, keluarga, dan komunitas.

Ketiga, tingkatkan akses layanan. Sediakan layanan konseling dan pendampingan khusus bagi korban laki-laki. Buatlah proses pelaporan yang mudah diakses dan ramah korban, sehingga mereka tak ragu untuk mencari bantuan.

Kekerasan seksual adalah luka kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan. Mari bahu-membahu melawannya, tak peduli gender. Dukunglah para korban, dengarkan suara mereka, dan ciptakan dunia yang aman bagi semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun