Mohon tunggu...
Desi Sakawulan
Desi Sakawulan Mohon Tunggu... -

Indonesian and Food Science Technology

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bulan Biasa

15 Februari 2014   16:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau ada wanita tercupu di dunia, mungkin Bulan yang akan menyandangnya. Cupu dan biasa. Tipikal wanita yang terbawa arus untuk mempertahankan eksistensinya. Padahal pada pribadi terdalamnya ia punya dunianya sendiri. Bulan memiliki teman-teman dekat seperti remaja wanita pada umumnya. Bulan juga pernah jatuh cinta, walau pada akhirnya jadi angin yang berlalu begitu saja. Selalu, ketika ia jatuh cinta maka ia memang akan jatuh dan tak bangun lagi.

Saat itu Bulan sedang menikmati indahnya masa-masa SMA. Sekolahnya cukup tersohor di kota kecil tempat ia tinggal. Cinta pertama datang tanpa disangka. Saat itu ia sedang menalikan sepatu wariornya di depan lab komputer. “permisi” suara cempreng agak aneh itu memaksa Bulan mempercepat kemalasannya mengikat tali sepatu. Ketika Bulan mendongak. Blash. Seakan nafas ia sedikit tercekat. Bulan terpesona pada pandangan pertama, pada cinta pertama.

Ya, bulan mendefinisikan cinta kali ini sebagai cinta pertama. Ia tidak mau mengakui kesukaannya pada teman lelakinya waktu SD dia sebut sebagai cinta pertama. Terlalu cupu dan memalukan. Suka pada teman satu bangku dan saat bersamaan temannya bilang suka pada salah satu teman SDnya. Tapi bukan Bulan. Sangat mengecewakan untuk menjadi cinta pertama.

Bulan berdiri bersama Muna di depan sekolah. Lebih tepatnya di depan foto kopian yang selalu ramai ketika waktu pulang tiba. Murid-murid SMA berebutan angkutan untuk pulang. Ada juga yang menunggu mobil mini bus untuk pulang ke rumahnya yang agak jauh dari sekolah. Ada juga murid yang iseng nongkrong di depan sekolah hanya untuk sok-sok keren saja. Mereka biasanya anak-anak yang kost di sekitar sekolah, mereka nongkrong hanya sekadar menikmati keramaian sekolah. Sampai pada saatnya sekolah kembali sepi dan mereka kembali ke kost. Berdirilah Bulan dan Muna sambil cekikian. Mereka, Bulan lebih tepatnya menunggu kakak kelasnya naik mini bus yang ditunggunya. Ah, cinta memang gila. Menunggu dengan bego, hanya untuk melihat dia pergi. Selalu begitu setiap harinya. Sampai kakak itupun lulus, dan Bulan melupakannya. Cukup begitu saja. Kisah cinta pertama Bulan yang selalu merindukan punguk.

Cinta pertama sirna, maka akan ada cinta kedua. Lagi-lagi kakak kelas. Namanya Aban, seorang kakak kelas yang sangat pintar dan aneh. Berawal dari kegiatan mereka belajar bersama. Mereka sama-sama senang dengan Biologi. Kebersamaan yang tak lama. Karena Aban lulus mengambil jurusan kimia. Pengkhianatan memang. Bulan jadi malas mengikuti jejak Aban. Bulan lebih memilih pergi jauh dari kota kecilnya dan menemukan cinta ketiga di tempat barunya. Seperti biasa Aban tidak pernah tahu Bulan suka padanya. Kebersamaannya seperti angin yang berlalu. Sampai pada suatu saat Bulan tahu bahwa Aban kecewa karena Bulan mengkhianatinya dengan tidak memilih kampus tempat Aban kuliah. Mengkhianati? Kamu lakukan itu lebih awal Kak Aban.

Kampus! Bulan masih sama seperti dahulu. Wanita cupu yang akan selalu menjadi orang kedua atau bahkan ketiga. Bulan dengan IPK yang tidak terlalu tinggi namun tidak jelek juga. Bulan dengan berbaai organisasi namun tak pernah menempati posisi strategis. Hanya orang ketiga, seperti biasa. Ia lewati masa-masa kuliahnya dengan biasa. Seperti orang-orang yang lain. Kadang rajin mengerjakan laporan. Selalu berambisi dalam ujian, padahal nilainya selalu biasa-biasa aja. Mengikuti lomba ini itu untuk mendapat uang. Menulis ini itu untuk menyalurkan kekosongannya. Kadang ke barat kadang ke timur, dan kadang ke selatan. Sampai pada ujung perjalanan yang menjemukan. Tugas akhir membuat dia gila. Sudah saatnya Bulan rehat. Bulan pergi melarikan diri sejenak hanya untuk bernafas lebih lega tanpa pemakluman-pemakluman yang biasa ia lakukan.

Saat itu, ia bertemu. Lagi-lagi kakak kelas. Afan namanya. Cuma terpaut satu tahun tapi seakan terpaut bertahun tahun. Bagaimana tidak, lelaki tersebut bukan lelaki sembarangan seperti yang ia temukan sebelumnya. Kalau kau punya catatan targetan calon suami ideal itu seperti apa. Maka Kak Afan adalah seorang yang sempurna. Terlalu sangat cukup untuk seorang Bulan yang sangat biasa. Mereka mengikuti klub yang sama. Sama-sama lari kenyataan. Klub astronomi. Klub yang antusias terhadap bayangan. Terhadap cahaya bintang yang bintangnya sudah mati entah dari kapan tahu.

***

Malam ini Kak Afan bercerita tentang masa depan. Tentang langkah langkah strategis yang harus ditempuh. Terkesima Bulan olehnya. Senang bukan main, seperti mendapat motivasi dari motivator terkenal. Malam-malam sebelumnya Kak Afan bercerita tentang kisah bintang dan cahayanya yang selalu menceriakan. Kadang mereka hanya bersenda gurang sambil melihat bintang yang sama dengan hari kemarin.

Kalau Bulan bisa meminta kepada Tuhan. Maka Bulan akan meminta kak Afan agar selalu bersamanya. Tapi Bulan sadar, itu sangat tidak mungkin. Seperti menggapai layang-layang yang senarnya putus dan terhempas kelautan. Segala hal yang ada pada Kak Afan sekarang menjadi target Bulan. “aku memang tak akan bisa menggapaimu, tapi aku akan jadikan kamu sebagai tujuan aku. Mungkin bukan kamu nya. Tetapi hal-hal baik yang sudah kamu beri. Aku pasti menggapainya”

Keesekonnya kak Afan tak pernah datang ke klub astronomi, padahal purnama sedang bagus saat itu. Selalu, pada akhirnya Bulan menyerah lagi pada kecupuan yang semakin meninggi. Lepas. Dan seperti biasa, ia kembali menjalani hari hari yang harus terjalani. Dengan sangat biasa. Dengan hati yang terluka, akan kecupuan yang tak bisa menggapainya.

“kamu itu seperti bintang yang sering kita lihat. Saat ini aku melihatmu, maka saat itu kamu sudah meninggalkan ku jauh melesat. Kecepatan cahaya. Bintang yang sudah mati. Kau memupukkan cinta. Hanya memupuk tanpa memberi biji. Kamu itu seperti langit tempat aku, bulan, menggantungkan keinginanku. Tuhan, bantu aku menembus batas yang telah ia buat. Ku mohon Tuhan”





Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun