Mohon tunggu...
Desi Sakawulan
Desi Sakawulan Mohon Tunggu... -

Indonesian and Food Science Technology

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Pangan Hasil Rekayasa Genetika dan Alergi

27 Desember 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Genetically modified foods atau pangan hasil rekayasa genetika (PHRG) masih menjadi bahan diskusi dikalangan peneliti. Kebanyakan PHRG ini merupakan komoditi pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat dunia sejak dahulu, seperti tomat, jagung, dan kedelai. Keberadaan PHRG dapat menjadi bahan perdebatan karena efek yang ditimbulkan PHRG yaitu berpotensi menimbulkan alergi. Sudah jelas komoditi yang telah direkayasa genetikanya akan berbeda secara genetis dengan komoditi alami. Komoditi PHRG telah mengalami modifikasi secara genetika sehingga gen baru hasil modifikasi dapat berekspresi dan menghasilkan susunan protein yang baru.

Keamanan PHRG ditentukan oleh jenis dan sifat protein baru yang dihasilkan oleh gen yang disisipkan. Jika gen sisipan tersebut menghasilkan protein yang diketahui tidak bersifat toksik atau menghambat kerja fisiologis tubuh maka secara umum protein yang dihasilkan aman bagi tubuh. PHRG akan berbahaya jika protein baru yang dihasilkan ini dapat menyebabkan reaksi alergi jika protein ini tidak tercerna dengan sempurna sampai asam-asam amino dan masih menghasilkan potongan-potngan peptida yang ukuran molekulnya cukup besar. Potongan-potongan peptida dapat memicu respon imun dan mengakibatkan reaksi alergi. Reaksi ini bisa dipicu oleh hanya beberapa molekul peptida saja sehingga batas amannya bisa menjadi sangat kecil.

Sebenarnya produk PHRG tanpa rekayasa genetika juga sudah diketahui berpotensi mengakibatkan reaksi alergi pada beberapa individu tertentu, yaitu orang yang secara genetika mudah mengalami reaksi alergi. Perlakuan rekayasa genetika akan menambah peluang terjadinya alergi.

Food allergy atau alergi pangan merupakan reaksi imunopatologi yang tidak diinginkan yang dipicu oleh protein pangan yang asing bagi tubuh dan bersifat alergen (menimbulkan alergi). Reaksi imunitas yang ditimbulkan merupakan reaksi yang diperantarai oleh antibodi immunoglobulin E (IgE) dan sel limfosit. Alergi yang diperantarai oleh IgE adalah alergi yang ditimbulkan dimana antibodi IgE dapat terdeteksi secara berlebihan. Alergi jenis ini dapat terjadi dengan onset cepat dari waktu konsumsi pangan ke gejala alergi yang ditimbulkan, yaitu dari hitungan menit sampai beberapa jam. Alergi yang diperantarai oleh sel limfosit T disebut pula reaksi hipersensitifitas yang tertunda (delayed hypersensitivity reactions) biasanya terjadi 6-24 jam setelah pangan yang mengandung alergen terkonsumsi. Alergi jenis ini terjadi karena adanya interaksi alergen pada pangan dengan sel limfosit yang sangat sensitif, biasanya terjadi disaluran pencernaan. Sel limfosit yang sangat sensitif ini memproduksi limpokinase dan generasi limfosit T sitotoksik yang akan merusak sel intestinal termasuk sel epitel usus yang berfungsi dalam penyerapan zat gizi. Contoh alergi jenis ini adalah Coeliac disease, yaitu alergi yang dipicu oleh gluten terutama fraksi gliadin yang ada pada tepung terigu.

Evaluasi keamanan terhadap PHRG dapat dilakukan secara singkat melalui decision tree, yaitu urutan pertanyaan untuk mengetahui kemungkinan yang terjadi mulai dari pertanyaan mendasar sampai pertanyaan yang paling spesifik. Pertanyaan pertama adalah, adakah sumber gen pembentuk alergen?. Jika ya, maka PHRG positif menimbulkan alergi, namun jika tidak maka dilanjutkan pada pertanyaan selanjutnya, yaitu apakah protein yang dihasilkan oleh gen baru mempunyai kesamaan urutan nukleotida dengan suatu gen penghasil protein alergen? Jika jawabannya ya, maka kemungkinan gen baru tersebut dapat menghasilkan protein alergen sehingga evaluasi tidak perlu dilanjutkan, namun jika tidak maka evaluai dilanjutkan pada tahap ketiga yaitu dengan uji-uji imunokimia. Tahap ke tiga menggunakan serum manusia yang menderita alergi sehingga dapat dipastikan mempunyai IgE yang tinggi. Jika reaksi menghasilkan reaksi positif maka dapat disimpulkan PHRG tersebut menimbulkan alergi, namun jika tidak bereaksi maka reaksi dilanjutkan dengan menggunakan serum yang lebih spesifik terhadap protein uji. Jika hasil reaksi positif, maka disimpulkan PHRG tersebut dapat menimbulkan alergi, namun jika masih negatif maka pengujian perlu diteruskan dengan uji pencernaan enzim saluran pencernaan. Hasil uji ketahanan terhadap enzim akan memberikan informasi apakah alergenitas protein atau PHRG bersifat redah atau tinggi. Kesimpulan terakhir dalam uji alergenitas ini tidak dapat dipastikan secara mutlak bahwa protein yang dikandung tidak akan menyebabkan reaksi alergi, karena prinsipnya, reaksi alergi dapat disebabkan oleh gangguan pencernaan protein. Makanan baik PHRG atau bukan, selama pangan tersebut merupakan sumber protein maka dapat berpotensi memicu reaksi alergi. Kuncinya ada pada kerja saluran pencernaan, jika baik maka kemungkinan terserapnya molekul protein yang berukuran besar akan kecil dan alergenitas pun kecil.

Sumber :

Edward WP. 2007. The Science of Bakery Products. Cambridge (UK): RSC Publishing.

Fransiska RZ, Nurheni SP, dan Endang P. Genetically Modified Foods dan Alergi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun