Banyak hal di dunia ini yang sengaja dibuat “panas” oleh orang-orang yang menginginkan perpecahan untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu hal yang selalu dipanasi menjelang tanggal 21 April adalah tentang pahlawan emansipasi wanita, Kartini.
Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh presiden Soekarno pada tanggal 2 Mei 1964. Kini sebagian orang mempertanyakan kenapa harus Kartini yang menjadi pahlawan emansipasi wanita, sedangkan Indonesia memiliki banyak pejuang wanita yang tidak kalah hebat dari Kartini.
Tergerak oleh rasa penasaran, maka saya membaca banyak artikel yang “memprotes” Kartini. Seperti yang saya duga, ujung-ujungnya dikaitkan dengan agama dan suku tertentu! Saya temukan kata-kata seperti ini: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda”. Ditambahkan lagi bahwa hal itu dimaksudkan untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Indonesia. Banyak yang membandingkan Kartini dengan pahlawan wanita yang lebih Islami seperti misalnya Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika.
Saya kecewa melihat betapa mudahnya bangsa kita dipengaruhi jika hal tersebut mengatasnamakan agama dan suku. Jika Kartini masih hidup, saya rasa dia pun tidak berniat ingin dijadikan pahlawan. Perjuangannya bukan untuk menjadi terkenal tapi untuk mengangkat derajat kaum wanita. Kalau Anda mengaku wanita Indonesia kenapa harus ikut menjelek-jelekkan Kartini?? Bukankah negara kita juga mengakui Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, dan lain-lain sebagai pahlawan nasional juga?? Bahkan nama-nama mereka juga diabadikan sebagai nama jalan-jalan di Indonesia.
Kartini memang dikenal oleh orang-orang Belanda. Ini hal yang wajar, karena Kartini adalah keturunan bangsawan dimana pada masa itu hanya kaum bangsawan yang bisa bergaul dengan orang-orang Belanda. Kartini makin terkenal setelah surat-surat Kartini (untuk para sahabatnya di Belanda) diterbitkan oleh orang Belanda menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Jika dikatakan bahwa penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia karena campur tangan Belanda rasanya tidak aneh. Ini semacam “Personal Branding” dalam dunia marketing. Sesuatu yang sudah terkenal maka akan mendapat pengakuan atau lebih dipercaya oleh banyak orang. Contoh saja, banyak produk pasta gigi di Indonesia tapi yang paling terkenal adalah Pepsodent, bukan berarti merek lainnya tidak memiliki kualitas yang bagus, bukan?? Banyak minuman bersoda, tapi cuma Coca Cola yang paling diingat orang. Banyak ustad-ustad berkualitas (bahkan mungkin mereka ada di lingkungan kita) tapi yang terkenal cuma beberapa, dan yang paling digandrungi adalah ustad Jefri Al Buchori. Intinya, semua pahlawan sudah pasti diakui perjuangannya, tapi Kartini lebih memiliki “Good Brand” atau “Good Image” di dunia Internasional dibandingkan dengan pejuang wanita Indonesia lainnya.
[caption id="attachment_304221" align="aligncenter" width="300" caption="Pic by Kompetisi Kartini Digital 2011"][/caption]
Bangsa ini tidak akan maju jika hanya mempermasalahkan siapa yang pantas menjadi pahlawan. Lebih baik berbuat sesuatu untuk bangsamu daripada cuma bisa protes! Masih banyak sekali masalah di negara ini yang perlu dibenahi. Janganlah kita selalu membangun pemikiran-pemikiran negatif yang akhirnya melahirkan kebencian terhadap agama dan suku tertentu. Jadi buat apa meributkan siapa yang pantas disebut sebagai pahlawan emansipasi wanita??
Salam damai,
Desi Sachiko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H