Mohon tunggu...
Desi AmbarLastyani
Desi AmbarLastyani Mohon Tunggu... Lainnya - UIN Walisongo Semarang

Listening and Writing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Panggilan untuk Perubahan Tolak Budaya Bullying

4 Mei 2024   11:15 Diperbarui: 4 Mei 2024   11:31 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desi Ambar Lastyani

Mahasiswi Sosiologi di FISIP UIN Walisongo Semarang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus bullying tertinggi di dunia. Fenomena ini semakin lekat dan menyelinap menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani secara menyeluruh. Bullying tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tapi juga telah merambah ke dalam dunia kerja dan dunia maya. Ini adalah sebuah panggilan untuk perubahan yang mendesak dalam menolak budaya bullying, karena dapat memengaruhi kesejahteraan sosial dan psikologis individu atau kelompok yang menjadi korban.

Video yang menyebar di media sosial karena disiarkan secara langsung atau live baru-baru ini misalnya, memperlihatkan aksi bullying dan kekerasan di Kota Bandung terhadap korban yang masih di bawah umur. Sementara itu, kasus bullying 'Geng Tai' yang melibatkan anak artis Vincent Rompies di salah satu SMA Internasional di Tangerang Selatan, mengungkapkan bagaimana budaya perundungan bisa diwariskan sebagai tradisi untuk bergabung dalam kelompok geng dan layak untuk segera diadili.

Tindakan bullying yang dilakukan oleh remaja atau bahkan anak di bawah umur tidak terjadi sekali dua kali. 7 anak di Desa Antibar, Kabupaten Mempawah, menjadi korban bullying dan kekerasan oleh 4 terduga pelaku, beberapa di antaranya berstatus anak di bawah umur. Di Batam, ditetapkan 4 remaja sebagai tersangka kasus bullying karena berawal dari permasalahan di media sosial hingga tindakan pengambilan barang yang berujung pada tindakan bullying, dan akhirnya memasuki babak baru untuk diserahkan ke Pengadilan Negeri Batam.

Budaya Bullying

Pelaku bullying sebenarnya beraneka ragam. Hanya saja ketika pelakunya seorang remaja atau bahkan anak di bawah umur, kasusnya bisa heboh dan cepat viral. Bullying muncul sebagai bentuk intimidasi atau dominasi dalam kelompok sosial yang lebih kecil, seperti di sekolah, tempat kerja, atau bahkan di lingkungan keluarga. Oleh karena ketidakpedulian terhadap masalah tersebut, memungkinkan bullying berkembang menjadi sebuah budaya yang mengakar di berbagai aspek kehidupan. Terlebih, dunia maya yang seharusnya menjadi alternatif tempat aman untuk berinteraksi, kenyatannya bertolak belakang. Anonimitas dalam internet memungkinkan budaya cyberbullying tersebar secara brutal dan tidak manusiawi.

Pada beberapa kasus, kehadiran media sosial telah memperluas cakupan dan intensitas bullying, memudahkan akses terhadap pelaku, serta anonimitas yang menyulitkan korban untuk melawan atau melarikan diri dari tekanan sosial tersebut. Keberadaan media sosial yang begitu masif, memungkinkan pelaku bisa dengan cepat menyebarluaskan pesan-pesan negatif atau gambar-gambar yang merugikan korban secara luas dan dalam waktu yang singkat.

Demikianlah, untuk mengantisipasi dan menolak budaya bullying tersebut, kita perlu memulainya dari diri sendiri. Kita harus dapat memahami bahwa setiap individu memiliki nilai dan kedudukan yang sama sebagai manusia. Selain itu, kita juga perlu saling menghargai perbedaan dan mendengarkan pendapat orang lain tanpa menghakimi, bertoleransi, berempati, dan berani melangkah maju untuk membela mereka yang menjadi korban bullying. Setidaknya, dengan melakukan hal tersebut kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi semua orang di sekitar kita. Sebab, tidak ada tempat untuk bullying dalam masyarakat yang kita bangun bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun