Penulis: Aliyah Nur Alip dan Desi Paramita
Dosen: Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Elementary thereshold merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah. Mulanya di Indonesia, ambang batas pencalonan kepala daerah adalah sekurang kurangnya harus didukung oleh partai dengan perolehan suara 25% dalam pemilu atau yang memiliki jumlah kursi 20% di parlemen. Hal ini seringkali dianggap sebagai penjegal yang membatasi warga negara yang memupunyai kapasitas untuk mencalonkan dirinya atau bagi partai kecil yang ingin mencalonkan wakilnya karena tidak memiliki dukungan yang cukup dari partai politik dan seringkali akhirnya kontestasi pilkada ini didomonasi oleh partai partai besar.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah merupakan momen penting dalam perkembangan demokrasi elektoral di Indonesia. Putusan yang dikeluarkan pada tahun 2024 ini membawa perubahan signifikan dalam mekanisme pencalonan kepala daerah, khususnya terkait dengan ambang batas dukungan partai politik atau gabungan partai politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Pasal ini dianggap oleh para pemohon (Partai Gelora dan Partai Buruh) menegasikan perjuangan rakyat untuk membangun bangsa dan negara dengan membatasi keikutsertaan masyarakat melalui threshold (ambang batas) tersebut. Hal ini disebabkan karena syarat pencalonan dinilai membatasi partisipasi dan mereduksi prinsip-prinsip demokrasi. Maka dari itu, Mahkamah konstitusi mmelalui putusannya memutuskan untuk menurunkan ambang batas pencalonan menjadi 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. (Pratiwi A.A, “Pakar Hukum UNAIR Soroti Dampak Putusan MK Terhadap Pelaksanaan Pilkada,” Unair News, 2024).
Putusan ini bertujuan membuka ruang bagi kandidat-kandidat potensial untuk berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah, dengan begitu putusan ini selaras dengan prinsip justice as fairness yang menekankan pentingnya menciptakan struktur dasar Masyarakat yang memungkinkan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik.
Teori Justice as fairness dikembangkan oleh filsuf John Rawls, teori ini mengenalkan konsep "posisi asali" (original position) dan "tirai ketidak mengetahui" (veil of ignorance) (Mandle, J. and Roberts-Cady, S. (eds.), 2020) yang menjadi relevan dalam konteks ini. Melalui mekanisme penurunan ambang batas, sistem pemilihan kepala daerah didesain sedemikian rupa sehingga setiap aktor politik berada dalam posisi yang setara, tanpa mengetahui posisi sosial, ekonomi, atau politik mereka. Hal ini mendorong terciptanya aturan main yang adil, tidak memihak dan tidak dikuasai oleh elit politik saja sehingga memungkinkan munculnya kandidat-kandidat berkualitas dari berbagai latar belakang.
Penurunan Ambang Batas sebagai Manifestasi Justice as fairness
Teori Justice as fairness karya John Rawls sangat relevan dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan keragamannya. Sebagai negara dengan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, prinsip fairness Rawls dapat menjadi kerangka kerja untuk memastikan keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara. Konsep ini menekankan pentingnya konsensus yang didasarkan pada kewarasan publik (reasonableness), di mana setiap kelompok mampu menerima nilai-nilai politik yang adil tanpa tekanan atau dominasi. Dalam sejarah Indonesia, penerapan prinsip ini terlihat jelas dalam perubahan rumusan Piagam Jakarta menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa," yang menunjukkan adanya kompromi untuk menjaga kesatuan bangsa tanpa mengorbankan keadilan. Prinsip fairness juga tercermin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan kesetaraan semua warga negara di depan hukum. Namun, tantangan seperti meningkatnya konservatisme agama dan keberpihakan hukum terhadap kelompok yang kuat menunjukkan perlunya implementasi nilai fairness yang lebih konsisten.
Penurunan ambang batas pencalonan ini mencerminkan upaya memperluas peluang partisipasi politik bagi lebih banyak aktor dan kelompok, sehingga sejalan dengan prinsip fair equality of opportunity Rawls, di mana semua warga harus memiliki akses setara untuk berpartisipasi dalam posisi politik atau jabatan publik. Partisipasi dapat bersifat perseorangan atau kelompok, bersifat kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, dan efektif atau tidak efektif. (Yaya Mulyana, 2016: 47)