Regi. Sanguinis. Seseorang yang suka bicara dan sangat demonstratif. Penuh rasa ingin tahu dan kekanak-kanakan.
Regi. Sanguinis. Mendominasi pembicaraan. Membesar-besarkan suatu masalah dan mempunyai ingatan yang lemah. Egoistis yang cukup tinggi.
Regi: “Hari ini gue telat lagi. 20 menit di jam finger scan. Biasa, bangun kesiangan, semalem insomnia gue kambuh. Udah gitu, temen-temen kosan pada berisik banget. Ngeselin kan?!”
Aku: (Tersenyum) “Obat lo udah diminum lagi?”
Regi: “Halahhh, udah gak mempan obat itu. Kayaknya, gue mesti tambah dosis. Oia, besok gue izin deh, gak masuk gawe. Mau cek darah ke RS.”
Sudah kesekian kalinya Regi tidak masuk ke kantor. Berbagai alasan muncul, mulai dari cek darah, check up, tekanan darahnya turun, pusing yang hebat, dan berbagai alasan lainnya yang kebanyakan berkaitan dengan kondisi kesehatannya.
Sejak kenal dengan Regi, tiada hari tanpa mendengar. Mendengar cerita dan keluh kesahnya. Entah apa yang sebenarnya ada dan terjadi pada kehidupan Regi. Aku tau, dia adalah mahasiswi cerdas dan aktif di kampusnya. Dia sangat kiritis juga pandai berpendapat. Kalimat yang dia ucapkan, sering kali membuat lawan bicaranya dapat mengakui kecerdasannya. Pekerjaan sebagai jurnalis di kantorku ini sangat cocok baginya. Terlebih lagi, minatnya pada dunia kebahasaan dan sosial.
Kepribadian Regi yang terkadang terlalu terbuka, membuatku tahu cukup banyak tentang kehidupannya. Ketidakakurannya dengan ayahnya sebagai single parent, sulitnya memiliki hubungan backstreet dengan pacarnya, ketidakcocokannya dengan sistem manajemen kantor tempat kami bekerja, semua berakumulasi menjadi beban secara psikologis baginya. Regi, si super kiritis, tidak pernah berhenti menceritakan betapa tidak setujunya dia dengan sistem kontrak bagi pegawai. Dia juga tidak menyukai manajemen penyerahan tugas bagi jurnalis yang kadang bertumpuk di saat yang lain belum selesai. Betapa bobroknya pembagian tugas dari atasan juga menjadi kritisi bagi Regi. Di rumah, Regi sangat senang beradu argumen dengan sang ayah. Sebenarnya, mereka saling membutuhkan dan menyayangi, hanya saja, terkadang cara sang ayah dalam mendidiknya justru membuat Regi mencontoh pribadi sang ayah. Pembangkang, keras, membanting barang saat marah, dan tak mau kalah.
Siang ini, hari di mana Regi kembali masuk, setelah 7 hari absen…
Aku: “Jadi, lo mau curhat apa? Masalah apa lagi?”
Regi: “Cowok gue cuek banget. Kayak orang gak kenal aja kalo ketemu. Padahal kemarin dia sakit gue beliin obat-obatan, dia suntuk gue beliin majalah fotografi kesukaannya. Biar dia sadar kalo gue ada.”
Aku: “Mungkin, cowok lo lagi butuh sendiri Ta.”
Regi: “Iya kali. Biarin deh. Tapi, gue paling gak bisa didiemin kayak begini. Mending diamuk-amuk sekalian deh gue.”
Aku: “Gue doain moga cowok lo segera baikan lagi ama lo.”
Begitulah Regi. Baru kali ini aku bertemu orang dengan kemampuan demonstratif setingkatnya. Pernah, suatu waktu aku berada di angkutan umum dengan Regi. Dia seperti biasa selalu bercerita panjang lebar tentang apa yang dia rasakan hari itu. Aku yang sudah mengantuk dan lelah karena perjalanan hari itu, berpura-pura tidur agar dia berhenti berbicara. Namun, tidak sedikitpun Regi berniat. Dia tetap bercerita karena tau aku akan tetap mendengar walau mataku terpejam.
Regi yang aktif. Cerdas dan banyak dikenal orang. Regi yang bermasalah dengan ayahnya, pacarnya, dan pekerjaannya. Regi yang tidak pernah berhenti berbicara, berkeluh kesah, mengungkapkan kekesalannya, deritanya, penyakitnya. Regi yang menjalani berbagai pemeriksaan kesehatan karena penyakit vertigo akutnya, penyempitan syaraf di kedua tangannya, tekanan darahnya yang sering kali terlalu rendah, dan juga beberapa gangguan yang aku duga karena beban hidup yang dia alami. Regina yang karena ucapannya, sudah berapa kali aku tersinggung.
Danis. Melankolis. Artistik, idealis, dan perfeksionis. Mencari pemecahan masalah dengan solusi kreatif.
Danis. Melankolis. Mudah merasa bersalah dan memiliki standar hidup yang lumayan tinggi, sehingga sulit merasa puas. Mengkritik, namun peka terhadap kritik.
Suatu hari di Yahoo Mesangger…
Aku: Dan, lo online? J
Danis: Iya. Lagi suntuk, proyek bikin film mentok gara-gara ide menipis. Can you help me?
Aku: Yah, elo… Lo tau gue gak bakat di bidang film. Kalau bikin cerpen sih masih bisa gue usahain. Ayolah Dan, proyek ini udah lama juga kan. Gue penasaran ama hasilnya. Kelarin gih.
Danis: Hmmm… Oke, gue usahain. Tapi, nanti lo bantu komen ya J
Di kala dengan Danis, aku lebih banyak melakukan pemberian semangat dan motivasi. Danis sangat brilian dalam melahirkan karya seni, seperti film dan cerpen. Namun, akhir-akhir ini dia sedang berkonsentrasi dalam menyelesaikan sebuah film pendek yang sudah menjadi proyeknya sejak lama. Danis seorang lulusan dalam bidang broadcasting dan minatnya pada dunia media tidak terbendung lagi.
Aku mengenal Danis sejak lama, bahkan sejak kami sama-sama belum lulus kuliah hingga saat ini aku bekerja di kantor jurnalistik ini. Terkadang, aku berpikir mungkin akan menyenangkan mengajak Danis bekerja satu kantor, namun mengingat keadaan kantor yang sedang tidak stabil dan masalah kontrak yang terlalu lama, membuatku mengurungkan niat ini.
Dalam sebuah SMS…
Danis: Besok gue ada interview untuk jadi editor film. Doain ya. Ga pede nih, serius.
Gue: Yeah. Ayo Dan. Lo pasti bisa. Wah, pas banget kan sesuai minat lo.
Danis: Iya. Tapi gue kan belum ada pengalaman juga.
Gue: Gue doain moga sukses J
Danis: Thanx
Danis, sang kreatif, namun sering berkecil hati. Komunikasi kami lebih sering terjadi tanpa bertatap muka. Sudah lama kami tak bertemu. Hanya melalui sms atau pesan di Yahoo Mesangger, juga social media lainnya. Danis saat ini tinggal jauh dari Jakarta di mana aku tinggal. Dia sedang menetap di daerah Jogjakarta, tempat asalnya, sejak dia lulus kuliah setengah tahun yang lalu. Dia kembali ke sana untuk tinggal sementara dengan kedua orangtuanya dan mencari beberapa lowongan pekerjaan di sana.
Received Message From Danis
Danis: Besok gue mau jalanin operasi usus buntu gue, kambuh lagi. Aduh, capek deh rasanya mikirin penyakit-penyakit ini.
Aku: Kambuh? Yah, maaf banget ya gue gak bisa nemenin lo di RS.
Danis: Gak apa-apa, gue tau lo sibuk. Lagian cuma operasi kecil kok. Tapi, minggu depan gue juga mesti ikut terapi lintah untuk ngobatin kolesterol gue. Masih muda udah kena kolesterol. Haha…
Gue: Cepet sembuh ya Dan. I know you can.
Danis. Sejak aku mengenalnya pertama kali, tidak lagi asing bagiku bila mendengar dia menjalani berbagai macam pengobatan. Diawali ceritanya tentang penyakit migrainnya yang kian akut, lalu berulang kali diopname karena tipus atau magh. Dia juga pernah menjalani berkali-kali operasi kecil. Saat ini, dia tengah bergelut dengan usus buntu dan kolesterolnya. Karena ini semua, dulu Danis sering tidak masuk kuliah. Karena semuanya, Danis sulit mendapat teman. Hanya beberapa yang bisa dia percaya untuk menjadi sahabat, bahkan dia sangat sulit move on dari patah hati.
Aku tau sekali, bahwa orang dengan beban psikologis karena berbagai persoalan, baik itu penyakit atau masalah sosial, pasti berdampak pada kepribadiannya. Danis contohnya, dia senang berbicara frontal di media social tempat kami sering mengobrol. Terkadang kasar, namun butuh dukungan. Terkadang genit, namun penuh pembelaan. Terkadang sedih bercucuran, namun penuh semangat yang tersisa. Sudah hampir habis rasanya kata-kataku untuk memberinya semangat saat dia down atau saat dia akan menjalani berbagai macam pengobatan. Walaupun aku tau, terkadang semua kalimat yang kuucapkan sangat klise dan sulit kuterapkan sendiri, namun apa lagi yang dapat kulakukan untuknya yang kapan saja bias menyerah. Padahal, masih banyak yang dapat dia hasilkan dari kreativitas dan mimpi-mimpinya.
Danis: Hmmm..suntuk nih, besok ngumpul yuk di Plaza Semanggi.
Gue: Yuk maen. Tapi, jangan di sana deh, bosen kalau di MKG aja gimana?
Danis: Tapi jemput ya. Kan lo tau tempat yang gue tau Cuma Plaza Semanggi sama seputaran Sudirman. Hehe..
Gue: Oke. Besok kabarin ya.
Keesokan harinya…
Gue: Jadi?
Danis: Maaf, ternyata jadwal terapi gue dijadiin hari ini. So, maaf gue gak bias dateng.
Gue: Gak apa-apa Dan. Lancar ya terapinya J
Begitulah Danis. Setiap saat dia bisa saja mengajak pergi untuk memperbaiki suasan hatinya, namun kapan pun juga dia dapat membatalkan janji karena berbagai alasan, terutama kesehatan. Oleh karena itu, aku sudah sangat bias menebak apa pun kemungkinan yang akan dia ucapakan dalam janji-janji kami. Danis, si melankolis yang senang memecahkan keluh dengan kreatif. Danis yang selalu butuh motivasi, bukan hanya didengarkan.
Hari ini, aku mengingat semuanya. Tentang Regi dan Danis. Kuingat cerita tentang mereka di depan meja kerjaku. Hari ini Regi kembali absen. Hari ini Danis beristirahat di kamarnya sambil memikirkan ide untuk kelanjutan filmnya. Sederet SMS dan pesan di Yahoo Messanger telah kuterima pagi tadi. Mereka baik-baik saja, setidaknya untuk hari ini dan setidaknya aku telah memenuhi tugasku untuk menjadi pendengar dan motivator klise bagi mereka. Aku memandangi layar komputerku, sisa naskah berita yang harus naik cetak sore ini. Untung semua berjalan lancar di saat menjelang waktu pulang kerja seperti saat ini. Jam 17.00 tiba. Aku harus segera pulang. Ada janji yang harus kutepati. Dokter langganan menungguku pukul 18. 15 untuk mengecek keaadanku. Oh, lebih tepatnya mengecek keadaan paru-paruku yang tekena kanker sejak satu tahun terakhir ini. Mereka tak perlu tau. Cukuplah mereka terbebani oleh apa yang mereka rasakan.
Tertanda
—Si Plegmatis yang damai, namun penunda. Lebih suka jadi penonton daripada terlibat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI