Memberi dan menerima hadiah, sejatinya merupakan salah satu perbuatan yang baik dan mulia sebagai bentuk saling mengasihi dan menyayangi antar sesama umat muslim. Bahkan, terdapat hadits dari Nabi Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam mengenai saling memberi hadiah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad, "Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai."
Namun, ada kalanya memberi dan menerima hadiah haruslah memperhatikan situasi dan kondisi yang berlaku, berikut bagaimana bentuk hubungan antara kedua manusia yang saling memberi dan menerima hadiah dimaksud, beserta konteks dan latar belakang dalam transaksi pemberian hadiah dimaksud.
Dalam lingkungan pendidikan, misalnya, sebagai wali murid ada kalanya kita berkeinginan untuk memberikan apresiasi terhadap tenaga pendidik yang membantu kita mendidik buah hati kita di lingkungan sekolahnya. Namun, hal ini ternyata dapat menjadi masalah karena pada kenyataannya masih banyak dari kita sebagai masyarakat yang mungkin juga mengemban amanah sebagai wali murid, guru pendidik, kepala sekolah atau bahkan pendiri sekolah, yang belum memahami mengenai pemberian dan penerimaan hadiah dari murid ke guru merupakan salah satu bentuk gratifikasi yang termasuk tindakan penyalahgunaan wewenang dan mungkin saja dikategorikan sebagai salah satu bentuk korupsi.
Menurut Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12b ayat (1), "Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik."
Dalam hukum Islam pun, ada beberapa hadits yang mengatur dan membahasnya.
- Dari Abu Humaid As Sa'idi radhiyallahu'anhu, bahwa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
هَدايا العُمَّالِ غُلولٌ
"Hadiah untuk pegawai adalah ghulul (harta khianat)." (HR. Ahmad no.23601, Al-Bazzar no.3723, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no.7021).
- Dari Buraidah Al-Aslami radhiyallahu'anhu, bahwa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
"Barang siapa yang kami pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut, maka apapun yang ia dapatkan (hadiah atau tips) dari pekerjaan tersebut itulah yang disebut ghulul (hadiah khianat)." (HR. Abu Daud no.2943, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Guru merupakan seseorang yang berperan sebagai tenaga pendidik yang dipekerjakan oleh suatu instansi pemerintah atau yayasan. Maka dari hadits dan hukum negara, guru termasuk yang tidak boleh menerima hadiah dari seorang murid atau wali murid.
Dari hal tersebut, di salah satu sekolah Tauhid Anak Usia Dini (TAUD) di daerah Depok, Jawa Barat, memprakarsai adanya peraturan di sekolah salah satunya mengenai "Tidak bolehnya wali murid memberikan hadiah atau barang atas nama pribadi ke salah satu atau beberapa guru. Begitupun guru yang mengajar di sekolah tersebut, tidak boleh menerima hadiah dalam bentuk apapun dari wali murid."