Mohon tunggu...
Desi Ariani
Desi Ariani Mohon Tunggu... -

untuk lebih baik...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Adalah Seni. Apa Benar?

27 Juni 2011   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 8863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah politik itu? Jika mempelajari ilmu politik sangatlah beragampengertian atau definisi dari sautu pengertian politik dan berbagai prespektif cara pandang yang digunakan. Sama hal nya penulis yang pada mulanya kebingunanan untuk mempelajari suabuah teori politik dan penerapannya.

Hal yang sedikit menggilitik tentu ada berbagai kosakata dan permainan kata dalam politik, dan apakah bisa dikatakan politik adalah seni? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis perlu kembali mengingatkan bahwa anggapan semacam itu sudah lama yaitu sejak Yunani  dan Romawi Kuno, ketika politik sudah disebut ’’art politica’’ (seni berpolitik), ‘’politike techne’’ (teknik politik), ’’politike episteme’’ (bagaimana sesesungguhnya berpikir politik agar mahir). Saat ini pun politik juga banyak disebut sebagai ’’art possible’’ (seni kemungkinan; artinya sesuatu  yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin atau sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin).Biasanyang terlibat dalam politik ini disebut ’’seniman politik’’ atau politisi.Seni sendiri secara etimologi berasal dari kata ‘’art’ (bahasa Inggris) dan ‘’artes’’ (bahasa Yunani) yang menunjukkan arti kemahiran yang diperoleh seseorang dari bakat dan pengalamannya.Oleh karena itu, seni berpolitik juga berbeda setiap individu (Sahid Gatara, 2009: 26).

Oleh karena itu dari sini kita bisa pahami bahwa tidak ada keseragaman perlaku politik dari setiap orang terlibat dalam arena atau kehidupan politik, misalnya perilaku politik berkarakter demokratis, otoriter, keras, lembut atau santun, dan sebagainya.

Politik adalah Seni di Zaman Yunani dan Romawi Kuno

Dari pengertian politik sebagai seni hal itu menerut penulis ada benarnya walupun hal itu benar jika dilihat dalam konteks pada masa yunani dan romawai yang mana tidak lagi seperti sekarang yang begitu pesat perkembangan politik dengan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahun yang melingkupinya yaitu dengan adanya perkembangan ilmu politik berikut dengan teori-teori yang dikemukkan oleh ilmuawan politik. Hal itu tampaknya bagus untuk perkembangan dan khasanah keilmuan di bidang politik yang mana dapat diteliti gejala-gelajala politik/fenomena politik melalaui sebuah pendekatan yang ada pada ilmu politik, bisa melalaui pendekatan institusional, pendekatan behavioralisme, pendekatan tradisional.

Kembali lagi pada persoalanh politik dapat dijadikan seni, hal itu menurut penulis tepat jika itu berlaku pada zamannya saja ketika zaman yunani dan romawi dulu yang mana dapat diulas balik lagi bahwa pada zaman itu bisa dikatakan demokrasi yang bersifat aristokrasi yang mana demokrasi hanya dimpimin oleh segelintir yang pintar, bijaksana dan berpegetahuan luas dan  rakyat memang sudah menyerahkan sepenuhnya pada golongan aristokrat, oleh karena itu perkemagan selanjutnya muncullah adanya ketimpangan antara golongan aristokrat  dalam hal ini bisa artikan sebagai penguasa dan rakyat yang kemudian berkembang pula sistem feodalitik di mana adanya penindasan rakyat untuk kepentingan penguasa saja.

Fenomena Politik

Dengan begitu jika politik dapat diartikan sebagai seni hal  yang kemudian penulis pikir bahwa memang benar politik adalah sebagai seni yang digunakan penguasa untuk bermain-main dengan kewenangannya dan mempermainkan kata-kata untuk memperoleh suatu tujuan dengan memepengaruhi rakyat untuk tunduk dari penguasa dan ada kecenderungan rakyat kurang bisa memahami apa yang disampaikan oleh penguasa tersebut dengan berbagai penafsiran dan interpetasi yang kurang jelas dan ada kecenderungan kata-katanya kurang membumi untuk ditangkap oleh rakyat yang awam berkaitan dengan politik. Sebagai contohnya yaitu Undang-undang  yang dalam hal ini di lihat dari konteks Indonesia yaitu dibuat oleh DPR bersama-sama Presiden yang mana dalam UU tersebut pasti ada tafsirannya sendiri dan aturan operasionalnya yang mengendaki dapat diterapkannya peratura-perundangan-undangan tersebut, namun ada kalanya kata demi kata dapat memilki arti yang berbeda antara tafsirannya pemerintah dan rakyat yang dikenai peraturan tersebut, dengan begitu sering kali adanya konflik peraturan yang ada dan yang diterapakan.

Bukan hanya itu saja jika dikaitkan fenoma yang terjadi saat ini para elit politik secara terangan-terangan lewat pernyataan-peryataannya yang mungkin sekitar tiga minggu yang lalu sempat mencuat terkait dengan kasus Nazaruddin yang sedikit mememakkakan telinga kita yaitu salah satunya peryataannya Ramadan Pohan yang menyebutkan ‘’Mr A’’ tentu semuanyua sudah tahu akan isu tersebut, hal ini menerut penulis jika dikaitkan dari politik  sebagai seni seperti yang telah di sebutkan di atas maka hanya berupa kata-kata yang tak dapat ditunjukkan bukti kebenarannya karena juga dapat bahwa seperti yang tertera di atas tadi bahwasahan politik hanyalah seni kemungkinan artinya sesuatu  yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin atau sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin, maka dapat dikatakan bahwa Ramdan Pohan menggunakan seni kemungkinan itu tadi yang mana ia tidak selebihnya tahu siapa Mr A tersebut dan hanya mengai-andaikan saja, atau ada kemungkinan ia sudah tahu sebenarnya siapa dan membuat penyataannya dengan mr A padahal bisa saja yang tersangkut dalam kasus itu adalah Mr B. Dengan begitu ia hanya mengalihkan person ke orang lain yaitu dengan sebutkan Mr A.

Kesimpulan

Dengn mengetahui adanya politik sebagai seni dan fenemana yang ada sudah barang tentu kita sebagai warga negara harus bisa sadar akan politisi yang  mamakai seni dalam politiknya namun sekali lagi perlu penulis tekannkan bahwa demokrasi kita jika masih menggunakan cara-cara seperti itu di mana cara yang digunakan pada zaman romawi kono dan Yunani tentunya sudah tidak relevan lagi dalam konteks bangsa yang sedang mengalami tranformasi demokrasi sehingga terwujud suatu demokrasi yang matang ke arah konsolidasi yang lebih teratur, dalam arti teratur dalam keseimbangan sebagai negara yang menganut asas demokrasi di sisi lain  adalah negara hukum. Semuanya harus selaras, demokrasi tanpa koridor hukum adalah sia-sia belaka. Dan pembangunan demokrasi ke arah yang lebih substansial bukan hanya sekedar prosedural belaka yang mana dapat diasumsikan adanya pemilihan umum (prosedural) namun tak mampu mewujudkan kemakmuran rakyat (substansial).

Itulah berbagai fenoma politik yang ada di negeri ini, tentunya masih banyak lagi yang bisa dikupas namun terlalu banyak sudah jika membahas fenomena politik di Indonesia.  Akhir kata cukup sekian dan termaksih.

Politik adalah Seni. Bagaimana menurut Anda?

Salam Perbaikan.....

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun