Mohon tunggu...
Desi Amalia
Desi Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Independent student

Desi Amalia jurusan ilmu pemerintahan semester 7

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pentingnya Pembahasan terhadap Polemik RUU PKS yang Beredar!

7 Desember 2021   21:41 Diperbarui: 8 Desember 2021   12:00 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU PKS (Penghapus Kekerasan Seksual) yang saat ini banyak dibahas di setiap kalangan. pada dasarnya yang terjadi menjadi perdebatan dan cukup sulit dalam pembahasannya. Mengenai polemic RUU PKS, banyak mengundang kontroversi dan kecaman berbagai kalangan pejabat pemerintah ataupun masyarakat Indonesia. Yang mana hal ini menimbulkan kesan negative atas RUU PKS tersebut. Dari beberapa pihak meyakinkan jika RUU PKS ini adalah liberal, bahwasannya melegalkan terhadap marital rape yaitu sebuah hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang membuat gagal paham terhadap aturan soal pemerkosaan pada rumah tangga. Pada nyatanya di dalam Pasal 5 huruf c RUU PKS sudah tertera bahwa Tidak ada pelegalan hubungan badan di luar pernikahan. Tertera pada pasal tersebut terhadap kekerasan seksual bahwa sudah sangat jelas, yaitu berupaya untuk melindungi anggota yang termasuk dalam ruang lingkup keluarga.

RUU PKS masih dikatakan tidak relevan sebab keyakinan terhadap RUU masih sulit pada pembahasannya serta masyarakat sendiri masih berpegang teguh dari nilai apa yang di yakinkan. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, "bahwa pada awal tahun lalu pembahasan RUU PKS masih terhalang pada permasalahan Definisi dan judul kekerasan seksual" (Nasional.kompas.com, 3 desember 2021). Pada nyatanya masalah dan kasus terhadap korban kekerasan seksual saat ini cukup drastic meningkat serta kurangnya perlindungan pada korban, akan tetapi pelaku sendiri tidak jera maupun menunda untuk melancarkan aksinya dalam kekerasan seksual hingga RUU PKS disahkan. Pertanyaannya, kenapa RUU lainnya cepat disahkan? mestinya pemerintah lebih mengutamakan hal yang penting dan mendesak, bukan malah mengutamakan suatu hal yang penting tapi tidak mendesak. Tingginya pihak korban kekerasan tidak dapat menunggu pengesahan RUU PKS.

RUU PKS ini merupakan suatu hal yang dapat dikatakan penting, dengan begitu DPR serta pemerintah diminta mengutamakan segera dalam pengesahannya, sebab peran dibuatnya RUU PKS ini yaitu untuk melindungi segenap korban kekerasan seksual yang susah mendapatkan keadilan dan perlindungan dari hal kecil sampai dari tahap penangan dan pemulihan jiwa, mental dan psikologisnya maupun fisik. Dari banyaknya peristiwa terkait kekerasan seksual selama ini banyak menimbulkan dampak negative terhadap psikis korban kekerasan seksual tersebut.

Jika dilihat dari catatan tahunan (CATAHU) 2019 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat drastis dari tahun ke tahun. Di tahun 2020 terdapat 2.300 kasus, tahun 2021 mencapai 2.500 dengan periode januari-juli dari dua tahun belakangan ini cukup pesat meningkatnya kasus kekerasan sehingga naik 68 persen dari 3 tahun belakngan ini. Dilihat dari Angka kekerasan pada perempuan tersebut sangat memprihatinkan. Mestinya dari hasil catatan KOMNAS Perempuan tersebut bisa menjadi sebuah dasar bagi pemerintah agar lebih meningkatkan perhatiannya terhadap perlindungan perempuan korban kekerasan, untuk mengurangi, mencegah, dan melindungi perempuan korban kekerasan. Namun yang terjadi malah menunda pembahasannya. Dari lamanya sebuah proses pada perancangan dan pembahasan RUU ini memberi pengaruh pada korban sebab dari lamanya sebuah proses bisa lebih banyak tingkat jumlah korban pada kekerasan seksual dan maka lama pula korban mendapatkan hak kepastian hokum yang dijanjikan.

Sebetulnya, perlindungan mengenai hak-hak bagi perempuan saat ini telah tertuang pada aturan hokum. Seperti UU HAM, hokum keluarga, UUPKDRT, KUHP dan lainnya. Akan tetapi untuk aturan khusus tentang rehabilitasi dan perlindungan pada korban kekerasan masih belum pasti dan jelas. RUU PKS ada karena implementasi dari peraturan di atas, tetapi masih dibilang tidak terlalu baik dalam melindungi korban kekerasan untuk saat ini. Contohnya pada kasus pemerkosaan. Pada kenyataannya dari tindakan pidana perkosaan sebetulnya sudah diatur dalam hokum pidana, akan tetapi pengaturan dan pengertian dari pemerkosaan sendiri masih sangat sempit dan minim.

Sesungguhnya pada fakta yang ada perempuan lah yang menjadi korban utama dalam sebuah hubungan seksual pada kehidupan social kita. Terkadang perempuan sering disebut sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Yang mana sebagai contoh pada kasus pemerkosaan, yang pertama kali di cap sebagai pelaku notabennya adalah perempuan. yang jelas-jelas perempuan lah yang sebagai korbannya, yang berdalil bahwa yang disalahkan adalah cara berpakaian mereka, berperilaku tidak pantas dan lainnya. Untuk kasus perselingkuhan, paradoksnya adalah bahwa perempuan menjadi superior sekaligus sekunder. Mereka disebut "pelakor" (orang yang menangkap laki-laki). Akan tetapi jika dilihat dari sisi lain, dari sebuah ketentuan hokum yang ada lebih mengarahkan kepada si pelaku, bukan kepada korban. Di sisi lain, ketentuan hukum yang ada masih menyasar pelaku, bukan korban. Itu juga hanya mengatur perzinahan, pemerkosaan dan aborsi. Inilah sebabnya mengapa korban sering merasa tidak terlindungi dalam banyak situasi. Undang-undang seperti PKS dirancang untuk lebih berorientasi pada korban dan memberikan status hukum kepada badan tersebut untuk memungkinkannya mengambil lebih banyak tindakan dalam kasus-kasus dalam konteks berbagai hubungan seksual.

Pada sejarahnya, mengenai masalah seksualiti di berbagai komunitas sosial selalu menimbulkan masalah, baik dalam praktik maupun perspektif. Maka inilah pentingnya sebuah pendidikan dan dialog yang mana bertujuan untuk meningkatkan pada kesadaran tentang hubungan seksual dan berbagai akses serta ketidak setaraanya. Dengan kita melihat fenomena saat ini, kita membutuhkan RUU ini untuk melindungi korban dalam hubungan seksual dan menjaga martabat manusia, tanpa memandang jenis kelamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun