Living a busy life itu memang tidaklah mudah. Dalam hidup saya, saya harus bekerja mbabu sebagai seorang Italian tour guide dan tidak melupakan kewajiban saya sebagai seorang pelajar. Di sela-sela pekerjaan saya mengerjakan tugas dari kampus, saya tiba-tiba merasa sangat insecure dengan diri saya . Semua berawal dari percakapan dengan seorang teman dekat saya. Ketika teman saya ini berkata bahwa saya itu sangat westernized, dan abnormal, karena pemikiran saya yang sangat berbeda dari kebanyakan wanita yang teman saya ini temui-saya tidak tahu tipe wanita Indonesia seperti apa yang teman saya ini sering jumpai karena teman saya sendiri merupakan seorang Indonesia yang tinggal jauh di Negeri Paman Sam, di besarkan dan mendapat pendidikan di sana.
Siang ini, di tempat ini, di meja ini, hati saya berbisik, dan bertanya “Des, bagaimanakah caramu hidup selama ini…? Apakah benar yang temanmu katakan bahwa kamu sudah sangat "Westernized" sekali?"
Itulah yang menjadi titik terang bagi diri saya. Saya adalah seorang bohemian, seorang yang independent dan seorang free spirit. Saya tidak suka bergantung kepada orang lain dan lebih suka untuk bekerja mengandalkan diri saya sendiri. Di rentang 27 tahun kehidupan saya ini, saya mengalami banyak sekali perjalan hidup yang mungkin tidak dapat orang lain bayangkan. Dan saya sangat bersyukur karena itu membentuk diri saya menjadi pribadi yang kuat seperti sekarang. Saya sangat memuja hidup saya, dan saya selalu berpendapat bahwa hidup itu adalah sebuah tempat di mana kita ini selalu bergerak maju, dan berjuang, sambil menikmati apa yang di tawarkan oleh hidup itu sendiri. Harta dan yang lainnya merupakah tambahan dari the Divine untuk semua perjuangan yang telah kita lakukan? Dan bukankah prinsip harta, bobot, bibit, bebet yang selalu orang Jawa seperti bapak atau ibu saya junjung itulah yang dulu sempat membawa kehancuran dalam hubungan-hubungan saya selama ini? Bukankah saya memutuskan untuk memilih sakit hati, dan menjadi single kembali daripada mengubah pandangan hidup saya selama ini?
Setelah percakapan dengan teman saya tadi malam, kembali saya berfikir. Apakah dalam proses perjuangan menggapai cita-cita saya itu, saya sudah meninggalkan jati diri saya sebagai seorang wanita Jawa, dengan kekuatan saya, apakah saya melupakan kodrat saya sebagai seorang wanita Indonesia, dan menjadi ke-londho-londhoan. Namun, yang saya pikirkan juga, apakah takarannya untuk menilai seseorang itu westernized atau bagaimanakah seorang wanita Indonesia itu harus bersikap? Bukankah tidak ada takaran yang pasti dalam menentukan apakah seseorang dapat di katakana wanita Indonesia, atau wanita yang sok kebarat-baratan, et al?
Dan yang paling penting, bukankah sudut pandang setiap manusia itu berbeda? Bagi saya, saya akan tetap memandang diri saya sebagai seorang wanita Jawa, wanita Indonesia, saya hanya TIDAK SETUJU apabila takaran untuk menjadi wanita Jawa itu adalah dengan tetap tinggal di rumah, menunggu suami saya pulang ke rumah sambil momong anak, yang selalu pasrah akan nasibnya, serta selalu mencoba untuk menjadi orang yang sareh dan sumeleh seperti yang ibu saya bilang. Mencoba untuk bersyukur dan menikmati apa yang ada, tidak peduli seberapa banyak yang di pegang. "Pupur, dapur, kasur"- make-up, kitchen, and bedroom itulah prinsip yang selama ini di pegang oleh ibu saya dan saya melihat sendiri rasa sakit yang beliau rasakan ketika beliau hanya berpegang pada prinsip tersebut tanpa mempunyai kemandirian yang cukup.
Jika memang sedang hidup berkekurangan, mungkin memang berarti sedang saatnya harus hidup kurang? itu adalah prinsip lain yang selama ini bapak dan ibu saya pegang. Namun saya meyakini bahwa hanya diri kita inilah yang dapat menentukan kebahagian dan kesuksesan kita.
Dan betul, bukankah hidup itu layaknya roda? Tidak terkecuali urusan jodoh, hidup, berkat dan masalah ekonomi dan mati. Ibarat merasakan kopi, bukankah rasa kopi itu ada yang pahit, manis, hangat, namun terkadang juga tawar? Meskipun kopi itu di buat di Amerika, di Indonesia atau bahwan di Africa tetap saja ada berbagai macan rasa kopi, kan? Tetapi bukankan itu dinamika menikmati si kopi itu sendiri? Bukankah SEGALA SESUATUNYA ITU HARUS DINIKMATI DAN BUKANNYA DI BANDINGKAN?
Ibu saya, selalu berkata; “Dek, hakikat orang hidup itu Cuma mampir nunut ngombe-mampir minum air, kenapa toh, sudah 27 tahun, sudah mendapat gelar sarjana, sudah bekerja, sekarang apa yang adek pengen sudah bisa adek beli? kenapa tidak segera berumah tangga? kenapa kok malah kuliah lagi?” I'll tell you what stopped me from marrying somebody itu bukan karena saya ini sok westernized dan saya menuntut ini dan itu. TIDAK! Apa yang saya punyai sekarang adalah apa yang dengan susah payah saya perjuangkan selama hampir setengah dari perjalanan hidup saya. Oleh karena itu, menjadi seorang istri ataupun ibu bagi anak-anak tidak berarti harus meninggalkan apa yang susah payah saya bangun selama ini. We are living in a material world- jadi bagaimanapun di dunia sekarang, dua incomes akan selalu lebih baik.
Saya merasakan betapa sulitnya hidup di luar negara saya, bagaimana saya harus kelaparan selama musim dingin di Italy, di apartment yang kecil dan saya harus bekerja- 2 pekerjaan di tengah-tengah kuliah sambil menahan lapar. Apakah salah jika saya ingin tetap mempertahankan semangan menjalani dan menikmati hidup yang mungkin berbeda dari orang lain?
Banyak dari teman saya yang berpendapat bahwa karena saya sudah dapat support diri saya, I travel a lot, I enjoy my life- even too much, I am independent, maka saya tidak membutuhkan lelaki. Untuk menjawabnya saya akan mengutip quote dari idola saya, Nyai Ontosoroh yang pak Pramoedya Toer kisahkan dalam novel beliau berjudul “This Earth of Mankind” di sana, Nyai berkata “Jangan pernah memanggilku perempuan sejati jika aku hidup hanya berkalang lelaki, NAMUN BUKAN berarti aku tidak BUTUH lelaki untuk kucintai!.”
Dan memang betul, karena saya sudah dapat berdiri, stand on my own feet, bukan berarti saya tidak membutuhkan lelaki. Saya into feminism tapi saya bukanlah seorang extreme feminist. Saya masih membutuhkan seorang companion. I do feel so frustrated also sometime to come home after a long day at work, and school, and I only see empty chairs over the dining room, I still sleep on my own, with empty spaces next to me in the bed side. I do need a companion. I do need a man, Yes! I can’t deny. I want to come home, and find my man sitting on the sofa, reading a newspaper, greet me and smile at me, offers me his lap to sit, where I can find my heavenly place to lay on, a man I can hug and smooch all night long! Siapa yang tidak mau?