Mohon tunggu...
Descanto .
Descanto . Mohon Tunggu... -

"Stay alert, stand firm in faith, show courage..and be strong." - I Cor 16:13

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sekelumit Kisah di Doha- Being An Agent of Change

3 Maret 2014   21:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama saya Des A. Budiman. Javanese yang juga seorang "travel-freak! I do love to travel and if people save their money for buying a house or a car, I would save and use my savings for traveling around. Banyak sekali kejadian- kejadian baik yang menyenangkan, mengharu-birukan bahkan menyedihkan di dalam perjalanan-perjalanan saya, namun satu perjalanan yang berkesan adalah perjalanan ke Italy dua tahun lalu melewati Doha.

Saya berangkat dari Jogjakarta- kota kelahiran dan tempat saya tinggal menuju Jakarta untuk bertolak ke Malpensa-Milano via Doha. Pada  penerbangan menuju Doha, saya duduk di sebelah gadis Indonesia yang sangat manis dan berkulit sawo matang-hey, I do always believe that us-the Indonesian ladies are the prettiest ladies in the world- betul kan? Dalam kasus saya ini, sayang sekali kepribadian si “mbak” ini kills all the beauty she possesses. Pada waktu pesawat mau take off- kami semua di ingatkan untuk mematikan HP kami demi alasan keamanan. Si mbak di sebelah saya terus saja memainkan HP-nya.

Dalam hati saya-yang merupakan orang yang “impatient” ini berkata “Ini orang sangat "retarded" atau bebal yah? sudah mau take off, kok yo iyo HP-ne ga di matiin? Malah di utak-utek aja. Opo yo mau mati bareng-bareng kami ini hanya karena orang ini retarded banget?” Saya menunggu beberapa saat, namun si mbak ini tetap “ngeyel dan mbalelo” dalam memainkan HPnya, akhirnya saya merasa perlu untuk menegur si “mbak” di samping saya ini, saya berkata “Mbak, mbak… ini sudah mau take off lho, bisa HP nya di matikan?” dan jawab beliau adalah “Oh, tak apa, ini HP mahal!”-dengan logat jawa Timuran- Malaysian (yang kebetulan saya tahu pada akhirnya bahwa beliau ini TKI yang barusan kerja di Malaysia dan mau  meneruskan kerja di Jahirah Arab!) Dalam hati saya sudah  “mangkel”-jengkel akhirnya saya bilang “Maaf ya mbak, please do get rid of the mental orang desa- and do what the stewardess said.. nggak susah kan untuk mematikan HP? kalau emang pesawat kita jatuh dan kita mati karena si mbak nyalain hp yang mengganggu sistem navigasi penerbangan, apa si mbak mau?” beliau pada akhirnya melihat saya sambil”mbesengut”-cemberut dan mematikan HP nya. Pelajaran pertama saya melalui si “mbak” sangat menyentil hati, dalam hati saya prihatin karena banyak dari kita yang terlalu di manjakan dalam hidup oleh teknologi sampai sampai kita tidak bisa berpisah barang sejenak saja dengan si “teknologi” ini. Entah mengapa kita tidak dapat juga menaati peraturan yang berlaku demi keselamatan kita dan orang lain. Apakah ini model didikan kita?

Pelajaran kedua saya, terjadi ketika saya berada di Doha. Saya bertemu dengan dua puluh empat TKI yang kebetulan juga transit di sana. Mereka elihat saya dengan malu-malu dan bertanya dalam bahasa inggris yang terbata-bata “maaf, apakah anda orang Indonesia? atau Orang Philiphina?” Dengan tersenyum saya menjawab “Saya orang Indonesia-dan sangat bangga akannya!” Kami akhirnya mengobrol dan dari situ saya tahu bahwa mereka akan pergi ke Arabia untuk bekerja. Dari Bu Ninik-seorang wanita paruh baya dari Bandung yang diantara mereka bahasa inggrisnya lumayan bagus, saya mengetahui bahwa mereka sudah menunggu selama hampir 26 jam karena pesawat mereka delay. Saya bertanya “Apakah ibu dan teman-teman sudah makan? saya ingin mencari makanan di kantin!” Jawah mereka “Lho, adakah kantin di sini? kenapa kami tidak tahu?” Saya: “Apakah tidak di beritahu bu, dari agent ?kalau disini kita menunggu selama lebih dari 8 jam kita akan mendapat coupon untuk light snack dan saya kita ada tempat di mana kita bisa tidur dan merebahkan badan yang capek?” Bu Ninik berkata “Tidak, agent tidak memberikan kami penjelasan apapun, kami sudah menunggu lama! kami untuk minum harus ke toilet dan minum air keran di sana!” Karena saya sudah mendapat coupon saya untuk makan, makan saya mengajak teman-teman yang saya ketemu disana untuk pergi ke customer service dan saya bertanya kepada mas mas di Doha di bagian CS “Excuse me, do you have any coupon for 24 Indonesians here?” Jawab mereka- cynically “No, we do not have the coupon for that much people!” Saya meradang sekali mendengar jawaban mereka, dalam hati saya, saya mencoba bersabar dan masih bertanya “Is there any way for them to eat without coupon?” Jawab mereka “No, Madame!” TITIK! saya mengumpat “Ini dasar unta! Kok ya tega gitu lho!”

Akhirnya karena sana sudah marah dan jengkel saya berkata “Listen, mister! My people-the Indonesians you see over there cynically (sambil menunjuk teman-teman Indonesia yang ada di belakang saya), they haven't had anything to  eat for more than 20 hours, they drink the water from the tap! if one of them is dying from starving, are you going to be responsible for that?If you want to be responsible to someone else’s life then I dare you to be as incredibly careless as what you are now!” Kata-kata saya yang berapi-api itu mungkin menggerakkan mereka, mereka saling  berpandangan dan akhirnya berkata kepada saya “Okay, Madame, but you come with them!”

Dan akhirnya di sanalah saya, makan bersama teman-teman Indonesia yang saya temui di Doha, dan meskipun snak yang kami makan hanyalah curry-yang kepedasan,  chips-yang rasanya seperti kapas, dan hanya air putih, namun saya dapat berkata kepada teman-teman semua yang membaca cerita saya ini, kalau makanan itu adalah makanan terindah dan ternikmat yang pernah saya makan!

Melihat tawa dan senyum tercermin dalam raut wajah teman- teman Indoensia itu hati saya terenyuh dan sarat akan emosi. Saya berpikir bahwa menjadis eorang Indonesian adalah kebanggan tersendiri . E si, devo essere, and sono orgoglioso di esere Indonesiana-saya harus dan memang saya bangga menjadi orang Indonesia karena Indonesia adalah negara yang kaya dan makmur. Sawah kita hijau membentang di mana-mana dari gunung, bukit, lautan biru yang sarat akan sumber daya alam, kita PUNYA! Tapi kenapa ya, banyak dari kita yang harus pergi ke luar negeri dan bekerja di sektor rumah tangga atau informal hanya untuk segenggam dirham ataupun uang asing? Apa yang kurang dengan kita?

Teman-teman yangmembaca cerita saya ini, saya memohonkan kepada kalian, apabila di suatu saat kalian berkunjung ke suatu tempat, dan menemui teman-teman kita yang kesusahan atau butuh “assitance” dari kita, janganlah memalingkan muka kalian dan berkata “Ah, rasah dipikir, mereka ki cuma calon pembantu-meng babu ae, aku sekarang mau “vacanza” dan seneng-seneng!” Saya yakin ketika kita berbuat baik untuk sesama kita apalagi saat kita dalam perjalanan menuju suatu tempat, Tuhan akan memberikan kelancaran kepada perjalanan kita. Mulailah menjadi agent perubahan dengan menjadikan diri kita berharga dan bermaanfaat bagi sesama. Mari buat perubahan sehingga ketika kita berada di negara lain, mereka akan memangdang kita dengan respect yang tinggi dan penghargaan atas diri kita.
Tuhan memberkati kalian semua!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun