Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam kesejahteraan masyarakat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 970 juta orang di dunia menderita gangguan mental atau penyalahgunaan zat pada 2020. Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional mencapai 9,8% dari populasi dewasa.Â
Fakta ini menegaskan bahwa kesehatan mental adalah tantangan besar yang perlu ditangani secara sistematis oleh negara.
Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebutuhan psikologis rakyat terpenuhi melalui kebijakan, infrastruktur, dan layanan yang memadai. Artikel ini membahas bagaimana negara dapat berperan dalam menangani dan memenuhi kebutuhan psikologis masyarakatnya, termasuk strategi efektif yang dapat diterapkan.
Kebutuhan psikologis dasar meliputi rasa aman, penghargaan, dan dukungan sosial (Maslow, 1943). Dalam konteks sosial-ekonomi Indonesia, tekanan akibat kemiskinan, ketimpangan sosial, dan dampak pandemi COVID-19 memperburuk kondisi psikologis rakyat. Data dari Kementerian Kesehatan pada 2022 mencatat peningkatan jumlah pasien gangguan mental sebesar 25% dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk memahami kebutuhan psikologis rakyat, survei dan riset nasional sangat penting. Survei semacam ini membantu pemerintah menentukan prioritas intervensi, terutama di daerah-daerah dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental.
Negara dapat mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam kebijakan kesehatan nasional. Sebagai contoh, Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) mencakup layanan kesehatan mental. Namun, implementasinya masih menghadapi kendala, seperti minimnya anggaran dan tenaga ahli. Penyediaan fasilitas kesehatan mental seperti klinik, rumah sakit jiwa, dan layanan konseling adalah langkah esensial. Di Indonesia, rasio psikiater per kapita masih sangat rendah, yaitu 0,13 per 100.000 penduduk (WHO, 2017).
Kampanye publik yang menghilangkan stigma terhadap kesehatan mental adalah langkah awal yang krusial. Di beberapa negara, seperti Inggris, program Time to Change berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental. Negara dapat meningkatkan aksesibilitas layanan dengan menyediakan subsidi atau program gratis.Â
Penyediaan hotline krisis dan platform daring untuk konsultasi juga penting, seperti yang dilakukan di Korea Selatan dengan program "Mental Health Welfare Centers." Kolaborasi dengan organisasi masyarakat, NGO, dan tokoh lokal dapat menciptakan intervensi berbasis komunitas. Misalnya, di Yogyakarta, program kesehatan mental berbasis komunitas telah menunjukkan hasil positif dalam mengurangi stigma dan meningkatkan akses layanan.
Negara memegang peran kunci dalam menangani dan memenuhi kebutuhan psikologis rakyatnya. Intervensi yang melibatkan kebijakan publik, infrastruktur, dan pendekatan komunitas harus menjadi prioritas.
Rekomendasi:
- Meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan mental.
- Mengintegrasikan kesehatan mental dalam kebijakan lintas sektor, seperti pendidikan dan ketenagakerjaan.
- Mendorong riset kesehatan mental untuk mendukung pengambilan kebijakan berbasis data.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H