Pendidikan adalah salah satu pilar utama bangsa, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: "Mencerdaskan kehidupan bangsa." Ini adalah salah satu cita-cita kemerdekaan Indonesia yang menempatkan pendidikan sebagai jalan untuk mencapai keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemandirian. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan sering kali berada dalam relasi yang rumit dengan kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah untuk memajukan pendidikan, justru kadang digunakan untuk melanggengkan ketimpangan. Di sisi lain, pendidikan memiliki kekuatan untuk menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan dan membuka jalan bagi perubahan sosial.
Cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945 memberikan landasan moral dan hukum bahwa kekuasaan negara adalah amanah untuk memastikan setiap warga negara, tanpa memandang status ekonomi atau sosial, memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang adil dan merata. Dengan landasan ini, kekuasaan memiliki tanggung jawab besar untuk menjadikan pendidikan sebagai alat pemberdayaan dan keadilan sosial.
Namun, tantangan di lapangan menunjukkan bahwa relasi antara pendidikan dan kekuasaan masih penuh dengan dinamika yang kompleks.
Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan
Dalam konteks modern, pendidikan sering kali digunakan sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan status quo. Pierre Bourdieu (1986) menjelaskan bagaimana pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan sosial melalui apa yang ia sebut sebagai habitus dan modal budaya. Sistem pendidikan cenderung mendukung kelompok sosial-ekonomi dominan, sementara kelompok marjinal sering kali sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Di Indonesia, hal ini terlihat dari kesenjangan akses pendidikan antara kelompok kaya dan miskin. Berdasarkan Statistik Pendidikan 2024, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang SMA/SMK pada kelompok pengeluaran terendah (kuintil 1) hanya mencapai 74,45 persen, sedangkan pada kelompok pengeluaran tertinggi (kuintil 5) mencapai 97,37 persen. Ketimpangan ini semakin tajam pada jenjang perguruan tinggi, di mana APK kuintil terendah hanya 18,23 persen, jauh di bawah kuintil tertinggi yang mencapai 54,25 persen.
Kesenjangan ini menunjukkan bagaimana pendidikan masih menjadi privilese bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Sekolah-sekolah swasta unggulan dengan fasilitas lengkap cenderung melahirkan generasi yang lebih siap berkompetisi di dunia kerja, sementara sekolah negeri di daerah terpencil masih menghadapi tantangan seperti kurangnya guru dan infrastruktur. Kekuasaan yang dimiliki negara seharusnya digunakan untuk mengatasi ketimpangan ini, sesuai dengan amanah UUD 1945.
Kekuasaan dan Kontrol Pengetahuan
Michel Foucault (1980) menyoroti bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif. Salah satu manifestasi kekuasaan adalah melalui kontrol atas pengetahuan. Di Indonesia, kurikulum pendidikan sering kali mencerminkan narasi tertentu yang didorong oleh kepentingan politik. Sebagai contoh, perubahan materi dalam kurikulum sejarah pada tahun 2019 memicu perdebatan publik. Penghapusan atau pengurangan porsi materi tertentu menimbulkan pertanyaan: Apakah kurikulum dirancang untuk mencerdaskan, ataukah untuk membentuk pandangan yang sesuai dengan agenda penguasa?
Dalam konteks ini, kontrol atas pendidikan menjadi cara untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, di sisi lain, pendidikan juga memiliki kekuatan besar untuk melawan narasi dominan dan membuka kesadaran kritis.
Pendidikan sebagai Alat Perlawanan
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menjelaskan bahwa pendidikan kritis adalah cara untuk membebaskan individu dari ketidakadilan struktural. Melalui pendidikan yang membangun kesadaran kritis, siswa diajak untuk memahami realitas sosial, menganalisis ketimpangan, dan mengambil tindakan untuk memperbaiki kondisi.
Di Indonesia, banyak gerakan pendidikan alternatif yang membuktikan bahwa pendidikan bisa menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Misalnya, Sekolah Literasi Alternatif di Yogyakarta mendidik anak-anak dari keluarga marginal dengan pendekatan yang berbasis lokal dan kontekstual. Di Papua, aktivis pendidikan mendirikan sekolah-sekolah nonformal untuk menjangkau anak-anak di daerah sulit akses. Inisiatif seperti ini adalah bukti nyata bahwa pendidikan bisa menjadi sarana pemberdayaan.
Selain itu, pendidikan tinggi sering kali menjadi ruang perlawanan yang kuat. Gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah salah satu contoh paling nyata bagaimana pendidikan dapat membangkitkan kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan dan mendesak perubahan politik.