11 Tahun yang lalu,Â
"Pada tanggal 26 Oktober 2010, gunung Merapi kembali meletus disertai awan panas setinggi 1,5 kilometer. Gulungan awan panas tersebut meluncur turun melewati kawasan tempat mbah Maridjan bermukim. Jasad Mbah Maridjan ditemukan beberapa jam kemudian oleh tim SAR bersama dengan 16 orang lainnya telah meninggal dunia, umumnya kondisi korban yang ditemukan mengalami luka bakar serius akibat terkena awan panas yang sering disebut dengan wedhus gembel,"
Laporan pandangan mata dari siaran radio komunitas area gunung merapi terdengar hingga kawasan kota Yogyakarta. Saat itu kondisi gunung Merapi meledak hebat dan menghasilkan hujan abu di sekitaran kota. Suara penyiar melaporkan langsung dari lokasi kejadian, desa Kinahrejo, tempat Mbah Marijan dan 15 korban lainnya yang terkena bencana letusan Merapi
12 jam sebelumnya, saya masih mendengar laporan pandangan mata para penyiar radio komunitas yang melaporkan bahwa awan panas sudah mulai turun dan proses evakuasi harus dilakukan. Penuh dengan suasana panik dan terus menerus disiarkan lewat kotak radio yang tersisa di dalam rumah. Radio pada saat itu menjadi media utama pemberitaan ledakan merapi. Berdampingan dengan sosial media, internet dan facebook. Namun update berita yang terus menerus, membuat radio menjadi pilihan utama. Saya bisa merasakan bahwa kekuatan radio sangat dibutuhkan di kondisi darurat. Hanya dengan menggunakan daya listrik baterai kecil, bisa menyala terus menerus berhari-hari. Dapat diakses lewat  smartphone ataupun radio yang selalu terpasang di mobil.
Mari belajar dari Jepang, negara yang mengembangkan sistem peringatan dini bencana alam dengan berbagai teknologi. Yang pertama, para ahli  pemantau bencana alam Jepang menggunakan stasiun radio NHK 1. Sebagai stasiun radio tertua di Jepang, radio NHK 1 kini didesain sebagai garda depan stasiun radio yang pertama kali membunyikan alaram bahaya bencana lewat teknologi auto turn on - menyalakan otomatis semua device radio penerima di seluruh Jepang. Peralatan radio yang dalam posisi sleep akan otomatis nyala dan mengeluarkan sinyal bahaya saat pemantau bencana di pusat pemancar NHK 1 mendapatkan tanda gelombang seismik pada alat seismograf. NHK 1 bekerja sama dengan stasiun besar lainnya seperti Bay FM yang berada di Chiba City. Bahu membahu menyiarkan alarm bencana alam dan reportase memandu bagi warga Jepang untuk menghindar dan menyelamatkan diri
Senin dinihari 5 April 1982 itu, Gunung Galunggung yang berada di sebelah barat Tasikmalaya atau sebelah selatan Jawa Barat, tanpa diduga meletus dengan dahsyatnya. Terjadi banjir lahar dan tercatat 31.000 pengungsi meninggalkan kampung-kampung mereka dan menuju ke arah kota. Letusan tersebut berlanjut pada 8 April 1982, ledakan besar terjadi mengakibatkan 200 ribu orang penduduk Tasikmalaya panik dan mulai keluar rumah untuk bersiap melakukan pengungsian. Sungguh sebuah peristiwa yang amat sangat mengejutkan. Saluran telekomunikasi saat itu tidak semudah sekarang. Hanya ada radio dan TV, plus di bantu kelompok radio amatir yang saling berkomunikasi menenangkan ratusan ribu warga untuk di arahkan ke lokasi aman dari letusan Galunggung.
Sadar Bencana Sadar Bahaya
Bencana alam selama ini disikapi sebagai sebuah kejadian mendadak dan banyak masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap bahaya yang ditimbulkannya kelak. Alat pemantau bencana dan kesadaran terhadap bencana sangat minim. Bahkan banyak yang hilang dan rusak
Sandiwara Radio? Seberapa efektifkah sandiwara radio akan dipantau dan didengar oleh masyarakat?Â