Rabu, 18 Maret lalu, saya menonton pertunjukkan teater Zat di aula gedung S Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sesampainya saya di sana sudah banyak orang yang memadati area aula S, menunggu pintu aula terbuka. Antusiasme masyarakat penikmat teater di UNJ cukup besar nampaknya. Yaaa terbukti dengan penonton yang memadati, termasuk pementasan Teater Zat malam lalu.
Teater Zat yang merupakan ormawa di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) UNJ yang sudah menapaki kiprah teater sejak 20 tahun itu mempersembahkan lakon Digugu dan Ditiru. Teater Zat mencoba menampilkan apa yang menjadi kegelisahan mereka mengenai ‘siklus’ guru lewat pertunjukkan yang ditulis dan disutradarai oleh Gugum Okta Riansyah.
Guru yang berdiri di garis depan pendidikan turut menurunkan watak bagi guru berikutnya, siklus ini berputar terus menerus entah sampai kapan, mungkin ini yang hendak di sampaikan Gugum dalam naskahnya.
Pertunjukan dimulai dengan hadirnya tiga orang yang menyuguhkan prolog berupa kilasan cerita yang akan dilakonkan. Pada awalnya, mereka memuisikan prolog tersebut yang dilanjutkan dengan menyanyikan lagu-lagu yang liriknya begitu membangun semangat positif. Namun, durasi untuk menyanyikan lagu terlalu lama. Sehingga, saya merasa sedikit gemas dan membatin, “Kenapa nyanyinya lama banget, sih?” Dan, hal yang perlu perhatian lebih untuk pertunjukkan seperti ini adalah pengaturan sound sytem (perangkat suara), karena dalam pertunjukkan ini suara alat musik yang terlalu dominan menimbul tenggelamkan suara vokal dari tiga orang yang menyenyi itu.
Kemudian adegan dimulai, ada tiga orang pembawa berita dengan karakter pembawaan yang berbeda-beda. Ada yang saya hendak kritisi di sisni. Di antara tiga pembawa berita itu ada seorang pembawa berita yang membawakan berita dengan bahasa Jawa. Logatnya sudah bagus, tapi yang saya sayangkan adalah penggunaan tataran bahasa Jawa yang kurang tepat saat pembawaan berita formal. Karena konteksnya saat itu si pembawa berita mengenakan jas rapih dan membacakan berita mengenai kasus guru. Seharusnya bahasa Jawa yang digunakan adalah kromo inggil yang lebih halus.
Setelah pembacaan berita usai munculah si Tuan Rumah. Ceritanya Tuan Rumah itu menonton berita mengenai kasus guru yaitu Pertiwi. Perlu saya jelaskan bahwa lakon ini menceritakan mengenai seorang guru bernama Pertiwi yang diadili karena perbuatannya yang salah mendidik. Pertiwi yang mulanya dulu merupakan seorang murid yang kritis dan cerdas diajar oleh seorang guru yang tidak memenuhi kode etik guru. Lambat laun waktu berjalan, Pertiwi menjadi seorang guru dan naasnya Pertiwi mengulangi kesalahan yang sama seperti apa yang dilakukan oleh guru yang mengajarnya dahulu.
Kesalahan Pertiwi tersebut dipersidangkan. Uniknya dalam persidangan tersebut adalah para tokoh yang mengadili Pertiwi. Di sini terlihat penggunaan simbol karakter seperti amarah dalam diri Pertiwi, kertas yang digunakan Pertiwi selama hidupnya, dan juga baju yang kecewa saat dikenakan Pertiwi. Namun, ada 2 orang wanita di samping Pertiwi saat itu. Entah mereka sebagai apa, yang jelas saya melihat kehadiran mereka terlalu dipaksakan untuk ada. Saya juga tak paham apa motivasi kehadiran mereka diatas panggung. Dialog mereka pun tak terdengar jelas, samar-samar saja. Saya rasa kedua tokoh tersebut perlu kembali mengasah vokalnya.
Lawakan yang dilontarkan antara si Tuan Rumah dan pemusik membawa angin segar bagi penonton yang mulai dihinggapi rasa bosan. Apa yang dilakonkan oleh Teater Zat adalah sebuah representasi dari fenomena ‘siklus’ lahirnya guru-guru di Indonesia. Gugum pun cukup piawai mengemas dialog-dialog yang begitu pragmatis dalam mengkritisi tabiat para pendidik. Konsep pemanggungan pun tak banyak menggunakan property. Namun, terlihat para tokoh berusaha menempati ruang kosong di atas panggung.
Pada saat ending saya berharap ada pencapaian baru, sebuah resolusi cerah yang dilakukan oleh Pertiwi. Namun, harapan saya pupus saat ending, Pertiwi mati diadili oleh karakter simbolik-simbolik itu. Yaaa secara utuh pertunjukan Digugu dan Ditiru punya landasan fenomena yang kuat, saya dan khususnya para calon guru terasa disentili. Saya merasa Gugum dan Teater Zat berusaha mengatrol kegelisahan mengenai ‘siklus’ lahirnya seorang guru yang begitu meresahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI