Mohon tunggu...
Des_yach SyAchroni
Des_yach SyAchroni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

satu jiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidupku Lebih Indah dari Surga

17 Februari 2014   09:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sering aku melihat wajah sedih dan letih ditunjukan oleh Ayah dan juga Ibu. Dan sesungguhnya aku juga tahu, bahwa semua itu disebabkan karena diriku; yang memang berbeda dari kebanyakan anak-anak seusiaku. Bukan hanya karena fisik yang berbeda, tapi juga karena aku selalu kesulitan dan lamban untuk menangkap apa-apa yang diajarkan oleh orang tuaku atau guru-guruku di sekolah. Selain itu, aku juga terkadang kesulitan untuk menunjukan kepada semua orang tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan. Sehingga tidak jarang, aku kesal dan marah pada mereka yang tidak mengerti. Tapi mau bagaimana lagi? Seperti inilah diriku, seperti yang aku pintakan kepada Tuhan.


Dulu. Sebelum aku menetap di rahim Ibu dan terlahir ke dunia ini, aku bertemu dengan Tuhan. Dan ketika Tuhan mengatakan bahwa aku akan diturunkan ke dunia fana ini. Aku sempat bertanya,” Apa hebatnya dunia itu dibandingkan Surga yang indah ini?”
Kemudian Tuhan menunjukan kepadaku tentang kehidupan di dunia. Dan aku bisa melihat dengan jelas betapa mengerikannya kehidupan di dunia itu. Saat itu aku langsung menolak, “Maafkan hamba yang hina ini.. Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Mu. Namun betapa kehidupan di dunia itu sama sekali jauh dari indah.”

Lalu Tuhan menunjukan kepadaku lagi wajah-wajah bahagia dari pasangan suami-istri, saat mereka melihat tubuh mungil seorang bayi yang baru saja lahir. Wajah-wajah yang terlihat begitu bahagia, sampai-sampai mereka tidak mampu mengurai rasa itu dengan kata-kata, kecuali dengan lelehan airmata yang mengalir di kedua pipi mereka.

“Hanya itu?” tanyaku lagi kepada Tuhan kemudian, merasa hal itu tidak cukup untuk dijadikan perbandingan seimbang dengan kehidupan di Surga.

Kembali Tuhan menunjukan kepadaku bagaimana ekpresi bahagia tergambar di wajah pasangan suami-istri lain, ketika mereka melihat anak mereka yang baru berusia 10 bulan tengah berusaha untuk berdiri, untuk kemudian mencoba melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah. Ada juga Ekpresi bahagia yang ditunjukan mereka saat anaknya mengucap sepatah kata menyebut nama mereka, “Mam-ma!..Pap-pa!.”

Saat itu aku hanya mengerutkan dahi, merasa tidak ada yang istimewa dari apa yang aku lihat. Dan Tuhan mengerti maksudku. Sehingga aku kembali dibawa untuk melihat kehidupan dari pasangan pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran. Mereka yang masih malu-malu, yang hanya bisa menundukan kepala tanpa bisa berlama-lama menatap mata orang yang ia cintai. Atau sekedar melepas senyum tanpa ada hal yang lucu terjadi, kecuali keadaan mereka sendiri.

“Hmm…” Hanya itu yang bisa aku ucapkan, sebagai tanggapan atas apa yang aku lihat. Dan kembali Tuhan mengerti betapa aku tidak tertarik melihat semua peristiwa yang telah ditunjukan. Apalagi sebelumnya Tuhan juga telah menunjukan kepada diriku, sisi lain selain keindahan itu. Apalah arti kebahagiaan kedua orang tua itu, jika kemudian para orang tua itu merasa berkuasa atas kehidupan anak-anaknya. Bahkan aku juga melihat bagaimana anak-anak itu diterlantarkan dan dimanfaatkan. Lalu apa artinya cinta yang indah itu? Jika pada akhirnya mereka juga akan saling menyakiti dan membenci dikemudian hari? Toh, di tempatku sekarang ini, di Surga, semuanya telah aku dapatkan dan juga rasakan. Lalu mau apalagi? Untuk apa aku ke dunia itu?

Akhirnya Tuhan menjabarkan kepadaku, bahwa sesungguhnya, telah Dia sempurnakan kehidupan itu dengan maksud yang baik. Dan semua rahasia itu tersembunyi dalam kehidupan itu. Bukan hanya tentang Surga dan Neraka semata. Semua jawaban dari rahasia itu akan kudapatkan jika kau terlahir ke dunia ini.

Aku diam sesaat. Menimang-nimang semua. Mencoba mengerti semuanya. Sampai akhirnya aku membuat beberapa permohonan. Aku ingin melihat hal yang berbeda dari semua peristiwa yang telah Tuhan tunjukan; aku ingin melihat ekpresi yang berbeda dari pasangan suami-istri saat melihat bayi mereka untuk pertama kalinya; aku ingin melihat ekspresi yang berbeda saat mengetahui anak mereka mengalami kesulitan dalam masa pertumbuhannya; Aku juga ingin melihat bagaimana cinta itu sesungguhnya bagi seseorang yang berbeda. Dan Tuhan mengabulkan permintaanku itu. Selanjutnya… inilah aku sekarang!

Terlahir ke dunia ini dengan keadaan yang berbeda dari kebanyakan anak-anak yang lain. Ada orang yang menyebutku sebagai, ‘Anak Idiot’ dan ada pula yang menyebutku dengan istilah yang sulit aku mengerti ’Anak pengidap Down Syndrome.” Ya, seperti itulah aku sekarang ketika terlahir ke dunia ini.

Dan benar saja, awal pertama saat aku melihat wajah kedua orangtua ku, ekpresi wajah mereka jauh berbeda dari apa yang telah Tuhan tunjukan kepadaku sebelumnya. Wajah-wajah kecewa dan sedih kudapati, dengan hujan airmata dalam tangisan penuh penyesalan dan rasa tidak rela menerima kenyataan. Ibu menangis sambil berusaha untuk memeluk tubuhku dalam enggan. Sedangkan Ayah langsung pergi dengan perasaan marah, untuk kemudian berteriak keras meluapkan kemarahan kepada Tuhan. Andai Ayah tahu, bahwa semua ini adalah kehendak diriku semata.…

Sepanjang aku hidup, selalu saja aku melihat ekspresi yang ditunjukan orangtuaku tidak jauh dari ekspresi kesedihan, takut, marah dan juga kecewa, penuh dengan tanda tanya. Meski setiap saat berusaha untuk bisa menerima diriku apa adanya. Aku bisa melihat hal yang berbeda dari apa yang pernah Tuhan tunjukan kepadaku sebelumnya. Inilah yang aku mau!

Aku tidak terlalu terkejut ketika banyak manusia yang memandang rendah diriku, merasa ketakutan ketika dekat denganku; kebingungan dalam ketidaktahuan bagaimana harus bersikap; menatap Iba tanpa bisa berbuat lebih dari itu; mencoba bersikap lebih kepadaku setiap saat; menjadikan diriku bahan olok-olokan dalam candaan mereka. Aku tidak merasa asing mendapati semua itu. Karena Tuhan telah menunjukan semua sifat manusia itu kepadaku sebelumnya. Dan Inilah yang aku mau!

Bahkan cinta seolah-olah menjadi tidak mungkin bisa aku rasakan dalam kehidupan ini. Itulah sebab wajah sedih dan khawatir ditunjukan Ayah dan Ibu setiap saat.
“Bagaimana masa depan anak kita nanti, Pak?,” tanya Ibu sambil menatap dengan pandangan yang terhalang airmata yang tertahan di pelupuk mata. Sedangkan Ayah hanya menggelengkan kepala menghela nafas panjang menghilangkan sesak yang juga ia rasa, sambil memeluk erat tubuh Ibu.

“Bagaimana jika kita sudah tidak ada lagi di dunia ini, Pak? Bagaimana dengan dirinya saat itu? Apakah mungkin anak kita bisa merasakan kebahagiaan dalam cinta bersama orang yang ia cintai?”

Semua pertanyaan itu senantiasa menyelimuti kehidupan Ayah dan Ibu. Dan aku merasa bahwa rahasia kehidupan ini telah ku temukan dalam balutan kasih sayang dan cinta tulus mereka. Semua hal itu tidak aku dapati dalam kehidupan di Surga. Perasaan kagum, bahagia, cinta dan kasih sayang menjadi satu tanpa bisa aku jabarkan sedikitpun. Semua rasa itu lebih indah dari keindahan rasa yang ku dapati ketika menetap di surga.

Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi bagian dari kehidupan manusia-manusia yang lain, sebagaimana yang aku ketahui. Mereka yang terlihat begitu menakutkan bagi diriku, meski kebahagiaan itu ada diantaranya. Tapi aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka, yang senantiasa diselimuti keangkuhan atas apa yang ada pada diri mereka dan atas apa yang mereka miliki.

Mereka yang aku tahu, selalu menjadikan nafsu sebagai raja yang menguasai diri mereka; tergila-gila akan harta, tahta dan wanita hingga mampu menutup kata hati mereka atas duka sesama; mereka yang terbuai oleh kenikmatan yang sementara dan demi semua itu tidak perduli akan nasib keluarga, saudara dan sesama yang telah menjadi korban; mereka yang suka membunuh mengatas namakan Tuhan dan kebenaran, untuk kemudian membantai sesama dengan alasan yang tersamarkan. Ah, masih banyak lagi dan tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Aku tidak ingin menjadi bagian dari semua itu. Meski aku bisa saja menghindar dari semua itu dan menikmati kebahagiaan dengan cinta dan kasih sayang. Tapi kehidupan Surga lebih indah dari itu. Lalu untuk apa aku bersedia turun ke dunia ini jika demikian? Betapa meruginya aku!

Aku meminta Tuhan atas kelahiranku yang seperti ini, agar bisa melihat hal yang berbeda dari apa yang pernah ditunjukan kepadaku. Meski mungkin banyak yang terlewatkan untuk bisa aku nikmati dalam keindahan dunia ini. Tetapi tidak mengapa, aku masih bisa menahan rindu hati ini akan Surga. Karena masih bisa merasakan hal yang jauh lebih indah dari tempat asalku dulu. Saat melihat ketulusan, keikhlasan dan keteguhan atas dasar kasih sayang dari orang tuaku dan orang-orang yang mencintai diriku dengan tulus. Semua selalu saja bisa membuatku lupa akan kerinduanku akan Surga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun