Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih akrab di telinga kita dengan sebutan Supersemar adalah sebuah surat resmi yang dikeluarkan oleh Soekarno, Presiden pertama Indonesia.
Supersemar dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 yang ditandatangani oleh Bung Karno sebagai instruksi resmi kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam rangka menjaga keamanan negara saat itu.
Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui keberadaan naskah otentik Supersemar hingga saat ini. Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M. Asichin menyatakan ada empat versi naskah Supersemar hingga tahun 2013, namun tidak ada naskah yang asli, semuanya palsu.
Supersemar yang diakui dan dijadikan pegangan pada masa orde baru versi Puspen TNI AD pun termasuk palsu karena dibuat dengan mesin komputer, bukan mesin tik sesuai dengan zaman saat itu.
Supersemar dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Fakta sejarah mengatakan penafsiran Supersemar yang dilakukan Soeharto sudah jauh melebihi apa yang tercantum didalamnya. Soekarno sempat geram dan mengutuk para pengkhianat bangsa yang hendak merebut kekuasaannya dalam pidato kebangsaan pada saat hari kemerdekaan di tahun yang sama dikeluarkannya Supersemar. Sejarah juga menyebutkan bahwa dalam penandatanganan Supersemar, sebenarnya Bung Karno ditekan.
Selang satu tahun setelah Supersemar dikeluarkan, bahkan Bung Karno dijauhkan dari istana, media dan masyarakat. Bung Karno layaknya tahanan pada masa orde baru hingga kematian menjemputnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya fakta sejarah yang terungkap, tindakan itu tidak dibenarkan dalam konteks memanusiakan manusia, terutama bapak bangsa yang berjasa besar terhadap ibu pertiwi.
Pun kita tidak dapat memungkiri bahwa pelajaran penting yang dapat kita tarik adalah politik yang dijalankan harusnya tanpa intrik, strategi politik yang baik adalah tanpa licik.
Jasa besar Bung Karno dan Soeharto tetap harus kita hargai dan hormati, terlepas apa yang mereka perbuat dalam konteks yang buruk.
Supersemar yang telah berlalu 54 tahun yang lalu tak perlu kita ungkap, sebab apapun caranya kita tetap sulit menemukan naskah aslinya.
Jika ingin menyalahkan orde baru, kita tidak akan berada pada masa ini. Cukup dikenang dan dipelajari saja sebagai sejarah bangsa Indonesia, sebagai kekayaan sejarah yang kita miliki.