Cambuk-cambuk sajak telah kulayangkan
Nyanyian ironisme: "Betapa susahnya hidup di negeri sendiri,
betapa menderitanya menjadi buruh di negeri orang."
Kerepotan satu bertambah kesusahan bertambah putus asa
Rasanya hidup di negeri tanpa pimpinan
Lapar, dahaga, dan nestapa tanpa masa depan
Sehari hari bukan kebijakan yang aku rasa
Hanya keluh kesah menguap dari mulut penguasa
Apalah artinya kami, "di negeri para bedebah"
Oh Indonesia....kampung maling yang ditinggal kaum demonstran
Para demonstran itu,
Diam-diam menikmati kekuasaan
Tapi jangan berkecil hati karena demonstran selalu diproduksi zaman
Masa lalu adalah kekuatan dan hari ini kita bangkit dari kelamahan
Para penyuara nurani, adalah sang demonstran
Para penyuara kejujuran, adalah sang demonstran
Para pengabdi rakyat, adalah para demonstran
Para penyambung lidah rakyat, adalah kamu wahai para demosntran
Maka jadilah demonstran, jadilah penguasa nurani rakyat dan kaki tangan orang tertindas
Para demonstran, di seluruh dunia, bersatulah.
Kepung Jakarta dari desa, desa mengepung Jakarta
Enyahlah penguasa rayap negara
Singkirkan kesirikan dan kemunafikan dalam politik,
Bandit negara di berbagai kantor dan perumahan
Ini negara disegel rakyat karena sejatinya ini bukan negara politisi dan penguasa
Andai saja,
Aku hadir disana tentu aku sudah turun ke jalan
Andai saja,
Aku dan segerombolan kawan-kawan dari lereng-lereng gunung, di bawah jembatan, di rumah-rumah tak beratap di sudut-sudut kota, akan merebut kembali hak-hak kami yang dikebiri atas nama negara dan Undang-undang.
Kini aku sedih, ketika aku tak hadir disana.
Aku hanya memandangi foto-foto demonstran yang berpeluh dan bau akibat seharian bertabrakan dengan debu dan asap jalanan.
Aku bangga, aku bangga dengan demonstran itu.
Walau demonstran tidak memberiku apa-apa, tetapi aku bangga karena merekalah penyambung lidah rakyat tanpa dibebani rasa pamrih sebagaimana kaum penilat bin pejabat alias penjahat.
AKu tidak hadir disana,
Tetapi hatiku menyatu untuk satu urusan: mengabdi dan berbakti kepada nurani.
Dengan demikian kita menjaga harga diri bangsa bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat; suara rakyat adalah suara tuhan.
Lalu senyap-senyap aku mengatakan: "jika suara rakyat yang rendah hati itu adalah suara tuhan, tentu saja suara pejabat adalah suara....SETAN". Karena kebaiakan bertolak belakang dari kejahatan. kejahatan selalu meminta lebih dan tentu semua jalan setan ditempuh.
Aku tak hadir di sana untuk aksi selamatkan perut rakyat itu,
Tetapi terpaut hatiku padamu sang demonstran
Karena itulah aku bersajak. Saja yang membebaskan ku dari ketidakmampuan merobek mulut-mulut penguasa dan sarang-sarang kejahatannya.
Hnl, March 27, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H