Mohon tunggu...
Anak Revolusi
Anak Revolusi Mohon Tunggu... -

Jika Rakyat berdaulat atas kata-kata, maka tidak akan ada lagi penguasa tipu rakyat! Revolusi semut akan mengalahkan angkuhnya tembok penguasa!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nyanyian Sunyi Demonstran

26 Maret 2012   12:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cambuk-cambuk sajak telah kulayangkan

Nyanyian ironisme: "Betapa susahnya hidup di negeri sendiri,

betapa menderitanya menjadi buruh di negeri orang."

Kerepotan satu bertambah kesusahan bertambah putus asa

Rasanya hidup di negeri tanpa pimpinan

Lapar, dahaga, dan nestapa tanpa masa depan

Sehari hari bukan kebijakan yang aku rasa

Hanya keluh kesah menguap dari mulut penguasa

Apalah artinya kami, "di negeri para bedebah"

Oh Indonesia....kampung maling yang ditinggal kaum demonstran

Para demonstran itu,

Diam-diam menikmati kekuasaan

Tapi jangan berkecil hati karena demonstran selalu diproduksi zaman

Masa lalu adalah kekuatan dan hari ini kita bangkit dari kelamahan

Para penyuara nurani, adalah sang demonstran

Para penyuara kejujuran, adalah sang demonstran

Para pengabdi rakyat, adalah para demonstran

Para penyambung lidah rakyat, adalah kamu wahai para demosntran

Maka jadilah demonstran, jadilah penguasa nurani rakyat dan kaki tangan orang tertindas

Para demonstran, di seluruh dunia, bersatulah.

Kepung Jakarta dari desa, desa mengepung Jakarta

Enyahlah penguasa rayap negara

Singkirkan kesirikan dan kemunafikan dalam politik,

Bandit negara di berbagai kantor dan perumahan

Ini negara disegel rakyat karena sejatinya ini bukan negara politisi dan penguasa

Andai saja,

Aku hadir disana tentu aku sudah turun ke jalan

Andai saja,

Aku dan segerombolan kawan-kawan dari lereng-lereng gunung, di bawah jembatan, di rumah-rumah tak beratap di sudut-sudut kota, akan merebut kembali hak-hak kami yang dikebiri atas nama negara dan Undang-undang.

Kini aku sedih, ketika aku tak hadir disana.

Aku hanya memandangi foto-foto demonstran yang berpeluh dan bau akibat seharian bertabrakan dengan debu dan asap jalanan.

Aku bangga, aku bangga dengan demonstran itu.

Walau demonstran tidak memberiku apa-apa, tetapi aku bangga karena merekalah penyambung lidah rakyat tanpa dibebani rasa pamrih sebagaimana kaum penilat bin pejabat alias penjahat.

AKu tidak hadir disana,

Tetapi hatiku menyatu untuk satu urusan: mengabdi dan berbakti kepada nurani.

Dengan demikian kita menjaga harga diri bangsa bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat; suara rakyat adalah suara tuhan.

Lalu senyap-senyap aku mengatakan: "jika suara rakyat yang rendah hati itu adalah suara tuhan, tentu saja suara pejabat adalah suara....SETAN". Karena kebaiakan bertolak belakang dari kejahatan. kejahatan selalu meminta lebih dan tentu semua jalan setan ditempuh.

Aku tak hadir di sana untuk aksi selamatkan perut rakyat itu,

Tetapi terpaut hatiku padamu sang demonstran

Karena itulah aku bersajak. Saja yang membebaskan ku dari ketidakmampuan merobek mulut-mulut penguasa dan sarang-sarang kejahatannya.

Hnl, March 27, 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun