Desiran ombak, Kicauan burung 1samyong dan deru angin yang sejuk seolah membawaku kedunia yang lain. Dunia tanpa masalah, begitu nyaman hingga membuatku lupa apa yang terjadi sebulan yang lalu. Semburat lembayung sang senja begitu indah, meski sebentar aku cukup puas menikmatinya. Sama seperti kisahku dan Ranum yang indah meski sebentar.
Ranum adalah Seorang Gadis manis yang baru ku kenal saat pulang ke kampung halaman. Bunga desa adalah sebutan yang tidak melebih-lebihkan untuk menggambarkan sosoknya yang nyaris sempurna. Pembawaannya yang anggun serta suara halus itu membuatnya layak untuk ikut kontes Putri Indonesia, namun sayang kontes itu tak cukup layak baginya yang mengenakan kerudung sebagai mahkota.
Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, aku memeriksa keadaan kapal. Sebagai seorang nahkoda merupakan hal yang wajib untukku memastikan kapal layak laut setiap harinya, agar para penumpang dikapalku selamat sampai tujuan. Iya, Pekerjaanku adalah seorang Nahkoda Kapal Komersil dengan tujuan pelayaran Kupang hingga Makassar, namun pagi ini sedikit berbeda, biasanya setelah yakin kapal siap berlayar aku langsung kembali ke Anjungan kapal, tapi tidak untuk pagi ini, seorang nenek berusia 80an dengan pakaian khas ibu Kartini lengkap dengan sanggulnya berteriak meminta pertolongan, meminta agar kapal dihentikan. Panik, suasana kapal benar-benar menjadi panik karena si nenek.
Hingga salah satu kru memintaku untuk keluar dari anjungan, menemui nenek tersebut. Saat ku temui sang nenek sudah agak tenang, rupanya ia memohon kepada para kru untuk kembali ke pelabuhan, karena sang cucu tiba-tiba pingsan, sang nenek benar-benar khawatir pabila terjadi apa-apa kepada sang cucu. Untunglah sang cucu yang merupakan seorang gadis berusia sekitar 22 tahun cepat siuman, gadis tersebut memang memiliki leukosit (sel darah putih) yang rendah.
Kejadian pagi ini jelas membuat ingatanku kembali ke keadaan satu bulan yang lalu. Ranum, gadis yang amat kucintai, gadis yang harus ku ikhlaskan.
1Samyong : Salah satu jenis burung khas Nusa Tenggara yang bersuara merdu.
**
01 Mei 2014
“Amad.. “ Teriak ibuku dengan suara seraknya, menyambutku yang baru saja tiba dirumah setelah delapan bulan belum pulang karena tanggung jawab pekerjaan yang harus ku emban. Bulan ini aku mendapatkan cuti satu bulan, sebagai imbalan dari kerja kerasku delapan bulan terakhir tanpa libur dan alhamdulillah tanpa izin sakit. Amad adalah nama panggilanku di desa, berbeda dengan panggilan ku di kapal yaitu Gentar, Muhammad Gentar
“Amad, apa menjadi seorang nahkoda harus membuat ibu terpisah jauh oleh anakku? Tidak bisakah kau pulang lebih sering?” Kata ibuku sembari menyodorkan banyak nasi kepiringku seolah belum makan dua hari.
“Cukup bu, cukup” Kataku yang melihat nasi yang mulai berjatuhan hampir tumpah, kepenuhan dipiring.
Ibuku memang seorang yang ulet dan penuh perhatian kepada anaknya. Di usianya yang sudah hampir setengah abad ini, ia tetap lincah mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, tapi tidak hanya lincah gerakannya, juga bibirnya pun lincah berceloteh, membuat rumah yang sepi selalu ramai, benar kata orang-orang “cinta sejati itu saling mengimbangi”, ibu yang super ceria, dengan ayah yang super kaku.
Aku tau, meskipun ayah hari ini tidak menyambutku langsung, karena ada urusan penting yang mengharuskannya ke kota sebagai kepala desa, ia pasti amat merindukanku. Bagaimana mungkin aku tidak tau, bila ibuku sepanjang hari sibuk menceritakan tingkah ayahku yang hampir setiap sore memandangi fotoku di bingkai hitam putih saat masih kecil. Aku memang tidak terlalu suka difoto, maka dari itu satu-satunya foto yang ada hanyalah foto saat bersama ayahku kala aku masih di taman kanak-kanak mengenakan seragam polisi-polisian.
Suasana desa selalu begini, sejuk, nyaman dan tenteram, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, karena suasana yang membuatku nyaman inilah, aku memilih bekerja di laut, dengan suasana yang hening tanpa kerusuhan. Sejak pulang ke rumah, Ibuku selalu mengajakku pergi bersamanya kemana-mana, hingga mengantarnya ke pasar sampai kondangan. Tidak jarang pertanyaan yang kuanggap sensitif dilontarkan oleh teman-teman ibuku “Kapan Menikah?” adalah Trending Question minggu pertama kepulanganku.
Halim adalah satu-satunya adik yang kupunya, hari ini usianya genap lima tahun, terpaut dua puluh tahun dibawahku. Meski sedikit nakal, halim tetap menggemaskan. Pipinya yang tembam selalu menggoda setiap orang untuk mencubitnya. Untuk merayakan ulang tahunnya, kami mengadakan syukuran di salah satu panti asuhan di desa. Ayahku memang orang yang amat sederhana, meskipun kami adalah keluarga yang berkecukupan ayah selalu mengajarkan kami untuk melakukan semua hal dengan biasa-biasa saja, tidak untuk berlebihan namun bermanfaat bagi banyak orang dan lingkungan.
Ayahku memang selalu benar dalam mengambil keputusan, tak heran bila warga desa memaksanya untuk menjadi kepala desa selama dua periode, meskipun ayah sudah sibuk sebagai seorang guru di salah satu SMA di kampung kami. Hari ini kebahagiaan Halim berhasil kami bagikan kepada anak-anak panti. Suasana ceria amat kental pada hari yang cerah ini, bahkan hampir semua anak panti menyumbangkan masing-masing satu lagu anak-anak, banyak diantara mereka yang amat berbakat untuk menyanyi.
Saat semua orang sedang sibuk menebarkan warna bahagia, aku melihat sosok seorang gadis berkerudung magenta, kemeja putih dengan balutan celana dan jam tangan yang senada dengan kerudungnya. Sepertinya ia bukan salah satu dari anak panti, atau bahkan warga kampung. Ia seolah tenggelam dalam buku bacaannya, hingga tak menyadari bahwa seseorang sedang mengamatinya dari sini.
“Assalamualaikum” sapaku sembari menawarkan senyum ramah.
“Waalaikumsalam” balasnya dengan suara halus seperti Gita Gutawa, ia menutup buku menatap lurus kearahku, memasang ekspresi bertanya.
“Maaf menganggu, perkenalkan saya Muhammad Gentar, mbak bukan warga sini ya?” Tanyaku bingung memulai percakapan.
“Hehe, iya mas saya Ranum, saya bukan asli sini mas, namun saya sering kemari” Jawabnya anggun.
“Mari bergabung, kami sedang mengadakan acara syukuran ulang tahun adik saya” Aku memang jarang berkomunikasi langsung dengan kaum hawa, terutama dengan gadis cantik didepanku ini.
“iya mas silahkan, saya cukup disini saja” jelasnya dengan senyum seindah pelangi.
Setelah acara usai, kami sekeluarga berpamitan dengan ibu pengurus panti asuhan. Aku yang penasaran dengan sosok anggun di ayunan tadi diam-diam bertanya kepada salah satu anak panti, dan kudapati bahwa gadis tersebut adalah pengajar sukarelawan yang merupakan mahasiswi salah satu universitas diperkotaan. Cantik, pintar, baik, dan insyaallah sholeha, betapa beruntungnya bila aku bisa lebih mengenalnya gumamku seraya dalam hati.
Keesokan harinya. Rasa penasaranku tidak berkurang malah semakin menjadi-jadi. Berbagai alasan kupikirkan agar aku bisa kembali ke panti itu, tak kutemukan satupun cara agar memiliki alasan untuk kesana. Seperti biasa, ibuku selalu tau apa yang kupikirkan, dan apa yang kuinginkan. Ibuku dengan santai menyuruhku untuk memberikan kue buatannya ke panti, ia memasukkan kue tersebut ke dalam kotak yang dikemas rapi, sembari menyunggingkan senyum sejuta kode ia berkata “Semoga berhasil”.
Sepanjang perjalanan, banyak hal yang kupikirkan, darimana ibu tau aku penasaran dengan gadis itu? Apa sebegitu kentara bahwa aku memikirkannya seharian? Kemudian apa yang harus kukatakan nanti? Jangan sampai aku menyia-nyiakan kesempatan ini dengan memberikan kue lalu pulang.
Setibanya disana, aku langsung menemukan sosok yang kucari ditempat yang sama diayunan tua biru muda dengan busana yang berbeda. Ia menggunakan warna yang sama denganku, celana hitam, dan kemeja serta kerudung krim, Kode alam? Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak percaya akan mitos seperti itu, namun jujur aku senang. Seperti kemarin, ia tak menyadari bahwa aku melewatinya, karena kupikir akan lebih baik bila menyelesaikan misi memberikan kue kemudian baru menyapanya.
“Selamat siang mbak ranum, apa gak panas bejemur siang-siang gini?” Sapaku berusaha se-fleksibel mungkin.
“Siang mas, alhamdulillah tidak mas, saya lebih suka disini di tempat yang terang” Jawabnya singkat sembari mengangkat wajahnya yang putih kemerahan menatapku, kemudian kembali tenggelam bersama buku.
15 Mei 2014
Ini adalah hari ke-15 ku di kampung halaman. Itu artinya liburanku akan berakhir dalam 15 hari lagi, cepat sekali waktu berlalu. Semenjak hari ulang tahun Halim, aku selalu mencari cara agar bisa menemui Ranum, Aku bukanlah lelaki yang gampang jatuh hati apalagi yang tertarik hanya dari parasnya saja, namun Ranum membuat pengecualiannya sendiri, atau hatiku melonggarkan aturannya demi Ranum. Aku jatuh cinta, Didetik pertama aku menatapnya.
Pejalan kaki, kendaraan bermesin, hingga kendaraan tradisional lalu lalang memadati jalanan, pedagang kaki lima juga tak mau kalah memperluas jajakannya. Seolah hanya merekalah yang butuh tempat untuk bernafas, beberapa orang lainnya berjalan ke satu arah yang sama di sudut jalanan yang terdapat sebuah toko buku 2 lantai, didepannya bertuliskan “Workshop dan Bedah Buku Irisan Pelangi bersama Siti Ranum”. Iya, itu adalah nama gadis yang kuamati akhir-akhir ini, bukunya berhasil mendapatkan penghargaan Best Seller Of This Year.
Pagi ini, aku ke panti asuhan seperti pagi-pagi biasanya setelah aku mengenal sosok Ranum, namun setiba aku disana tak kutemukan gadis yang kucari, seorang anak bermata bulat dengan pipi tembab yang mirip sekali dengan Halim menyapaku mengatakan bahwa Mbak Ranum tidak mengajar hari ini, Mbak Ranum ada urusan di toko buku yang berada di kota. Rasa penasaranku seolah memberikan ultimatum agar kakiku berjalan kesana.
Workshop yang dihadiri semua kalangan ini, dari mahasiswi yang mungkin teman satu kampus Ranum, hingga pegawai kantoran turut hadir mendengarkan Ranum yang anggun memaparkan isi bukunya, di salah satu penjelasannya ia membacakan sebuah puisi yang menurutku begitu indah. Bisa jadi ini adalah penilaianku yang super objektif, namun kuamati peserta yang lain dan terlihat bahwa mereka benar-benar meresapi puisi yang dibaca Ranum dengan suara lembutnya.
Seusai Workshop, aku menemui Ranum dan tak lupa membawa bukunya yang baru saja kubeli, menjadikan tandatangan sebagai alasan untuk berbincang meski sebentar. Saat ia menandatangani buku itu, tangannya terlihat gemetar, wajahnya sedikit pasih, atau mungkin wajahnya memang selalu terlihat begini? Hanya saja karena terpaan matahari maka wajahnya sedikit memerah. Khawatir membuatku berani untuk mengambil insiatif mengantarnya pulang. Tak seperti yang kuduga, ia menerima tawaranku, kupikir dia akan menolak seperti biasanya saat aku mendekatinya. Aku senang namun tak seutuhnya, hal ini tak bisa kutanggapi dengan biasa, karena Ranum yang kukenal adalah Ranum yang kuat, anggun, dan berwibawa, bila karena kelelahan maka ia mau diantar, itu adalah hal yang mustahil.
Saat dijalan, aku hanya berdiam diri berkonsentrasi mengikuti arahan yang diberikan Ranum untuk kerumahnya. Tentu aku menawarinya untuk kerumah sakit, namun dengan halus ia menolak “Aku tak apa-apa, hanya sekedar lelah” Jawabnya halus saat kutanya kenapa tidak kerumah sakit. Setiba dikontrakan Ranum, teman satu kamarnya memapahnya masuk kedalam, meski khawatir aku langsung pulang setelah yakin ia masuk ke rumah, karena ku rasa ia lebih membutuhkan istirahat daripada aku yang mengganggu disana. “Terimakasih” ucapnya dengan senyum hangat meski wajahnya pucat akan selalu kuingat.
22 Mei 2014
Satu minggu sudah kulewati, aku tetap ke panti asuhan setiap hari, meski sudah satu minggu pula aku kesana tanpa melihat Ranum. Ibu pengurus panti bahkan tidak tau mengapa Ranum belum kesana, baru kali ini Ranum tidak kesini tanpa memberi kabar, jelas Ibu panti yang tentu membuatku semakin khawatir. Satu minggu membuat keberanianku cukup untuk menemuinya dikontrakan, entah dengan alasan ataupun tanpa alasan aku harus kesana.
Namun, Setibanya di kontrakan, hanya temannya lah yang kutemui, tak ada Ranum, Tak ada lagi Ranum di Panti Asuhan, bahkan di kota, Tak ada. Dari sahabatnya aku tau bahwa Ranum pulang ke rumahnya dipedesaan, membutuhkan waktu enam jam dari rumahku ke desa itu. Setelah pamit untuk pergi kesana kepada ayah dan ibu, aku langsung berangkat, enam jam adalah waktu yang singkat dibandingkan 168jam aku menunggunya tanpa kabar.
Sesampainya di desa itu, aku terpaksa mencari penginapan karena waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, meski khawatir kupikir tak sopan rasanya bila aku menemui keluarga Ranum pada jam begini, maka kuputuskan untuk menginap dahulu, ternyata mencari penginapan dikampung merupakan hal yang sulit, jelas saja bahkan aku tak begitu yakin bila dikampungku juga tersedia penginapan. Aku hanya bisa memilih, tidur di mobil atau tidur di Masjid Kampung, jelas aku memilih pilihan kedua.
Jam sembilan pagi aku mulai mencari dimana rumah Ranum, kampung ini cukup luas, namun gampang untuk menemukan rumahnya, karena sesuai perkiraanku, Ranum adalah gadis yang cukup dikenal dikampung karena keramahan juga kecantikannya yang membuatnya menyandang gelar Bunga Desa.
Begitu mengejutkan, ketika ku tau bahwa Ranum merupakan seorang gadis yang tidak tau siapa orang tuanya, Iya, Ranum adalah seorang yatim piatu sejak bayi, ia dititipkan kepanti asuhan sejak kecil. Seorang nenek berusia 80tahun mengenakan baju khas kartini dan lengkap dengan sanggulnya menyapaku, bercerita tentang Ranum. Ia seolah tau bahwa aku akan datang. Wajahnya terlihat lelah kurang tidur, satu jam lebih aku mendengarkan kisahnya tentang Ranum, membuatku tambah mengagumi sosok Ranum, Ranum memang seorang gadis yang kuat, berprestasi, dan hal-hal positif lainnya. Awalnya sang Nenek menceritakan dengan senyum penuh bangga, namun seiring cerita wajahnya mulai berubah, sedih. Terlihat jelas bahwa ia menahan tangis. Hal ini tentu membuatku kembali gelisah. Ada apa? Ada apa dengan Ranum?
27 Mei 2014
Telah kutetapkan, bahwa aku akan kembali berlayar hari ini, ibuku mengantarku hingga ke pelabuhan dan kali ini ayah juga Halim turut serta menemani Ibu. Seperti biasanya Ibu selalu lincah berceloteh, namun kali ini celotehannya menjadi lebih spesifik, beliau membicarakan tentang cepat pulang, cepat menikah dan serba cepat lainnya. Ayah hanya menasihatiku dengan satu kalimat saja “Besok Senja akan kembali lahir dengan lukisan barunya, begitu juga seterunya”. Halim yang sedang kugendong, menatapku ketika kuturunkan, mata bulat pipi tembam serta mulutnya yang penuh dengan coklat kesukaannya membuat wajahnya semakin menggelembung.
Saat kapalku berlayar, dari jauh kulihat ibu tersenyum namun ada sinar diwajahnya, sinar dari pantulan air mata yang mengalir, Ayah masih tersenyum selebar pelangi, Halim? Menangis sesegukan dipelukan Ayah.
Ayah benar, dan memang akan selalu begitu bahwa besok selalu ada senja yang lebih indah. Setelah sekelilingku hanya lautlah sejauh sorot mata memandang. Aku memutuskan kembali ke ruanganku membuka kembali kertas yang lusuh karena berkali-kali kubaca.
“Teruntuk Mas Gentar. Semoga dirimu sekuat namamu. Saat kau membaca surat ini, karena itu artinya aku tak disana untuk mengatakan ini secara langsung. Memang benar kata orang “Saat perpisahan benar-benar terjadi, maka tak pernah ada waktu yang tepat untuk menyampaikan kalimat perpisahan”, saat kutulis surat ini, aku sedang sekarat. Sebetulnya aku selalu sekarat, jauh sebelum aku mengenalmu, aku sudah sekarat. Aku mengidap kanker Pankreas stadium akhir. Tak bisa lagi disembuhkan, maka dari itu aku sengaja ke panti asuhan dihari ulang tahun Halim untuk berpamitan kepada ibu panti karena aku tak bisa lagi mengajar disana. Aku biasanya mengajar di panti satu minggu sekali, tidak setiap hari. Namun aku sengaja datang setiap hari, semenjak hari dimana aku mengenalmu.
Aku selalu berharap, kau akan datang lagi ke panti itu, setidaknya hingga aku pergi. Egois bukan? Iya, aku adalah Ranum yang benar-benar egois, meski ku tau kau mendekatiku, aku menjauh, meski aku menjauh, aku tak benar-benar menjauh, aku tetap disana mengharapkanmu tetap mendekatiku.
Sejujurnya, aku memandangmu jauh lebih lama dari detik pertamamu menemukanku. Dari awal ketika kakimu melangkah ke panti itu, kau terlihat gagah dan manis meskipun wajahmu terbakar sinar matahari. Lesung pipimu yang dalam terlihat jelas saat kau tersenyum manis bersama anak-anak itu. Saat kau hampiri aku, aku berusaha setenang mungkin, aku begitu malu karena kupikir kau memergokiku memandangimu sepanjang waktu.
Saat kamu menyapaku, kamu benar-benar melunturkan niatku untuk berpamitan. Aku yang telah siap meninggalkan panti itu, bahkan dunia ini, langsung memanfaatkan waktuku sebaik mungkin, agar bisa mengenalmu sedikit lebih lama, setiap detiknya aku berdoa agar tetap bernafas di detik berikutnya. Kisah ini bagiku seperti Pelangi yang teriris, irisanku tak lagi dipermukaan, kita terhalang oleh dimensi yang berbeda, membuat kita tak lagi terhubung, membuat kisah ini tak seindah semestinya. Namun ini bukan cerita sedih, karena pelangi tetap indah meski tinggal setengah. Dari Siti Ranum yang ingin mengenalmu”
END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H