Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa nanpak membawa angin segar dalam pembangunan kemandirian dan kesejahteraan Desa. Undang-Undang ini berusaha untuk memulihkan otonomi desa yang sempat tereduksi akibat dari pemberlakuan undang-undang sebelumnya. Fatah Fanami, dkk (2018:02), menyatakan bawa otonomi Desa mulai tereduksi sejak diimplementasikannya UU Nomor 5 Tahun 1979. Desa mengalami pergeseran peran dan kedudukan, dari entitas sosial yang bertumpu pada nilai budaya dan tradisi asal-usul mereka berubah menjadi unit pemerintahan yang merupakan perpanjangan tangan dari rezim penguasa. Dijelaskan oleh Sutoro dalam Fatah Fanami, dkk (2018:11-12) bahwa perbedaan yang cukup signifikan dapat juga dilihat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 75/2005 dengan konsep Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014, dimana pada peraturan sebelumnya kedudukan Desa sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan Kabupaten/Kota (Local State Government) sedangkan pada UU No. 6 Tahun 2014, kedudukan Desa sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government. Sehingga jika pada UU No. 32 Tahun 2004 Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus Desa, sedangkan pada UU No. 6 Tahun 2014 kewenangan Kabupaten/Kota dibatasi dalam mengatur dan mengurus Desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan Desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat.
Bagaimana implikasi dari UU No. 6 Tahun 2014 terhadap kewenangan Desa?
UU No. 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan terhadap Desa yang tercantum dalam Bab IV tentang Kewenangan Desa pasal 18 berbunyi sebagai berikut: “Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa”. Sehingga nampak jelas bahwasanya melalui Undang-Undang Desa terbaru ini memberikan keleluasaan lebih terhadap perangkat Desa bahkan masyarakat Desa dalam menentukan kebijakan Desa sesuai prakarsa, hak asal usul serta adat istiadat Desa setempat. Masyarakat Desa dapat berperan pro-aktif dalam berkontribusi untuk memajukan dan menyejahterakan Desa mereka sendiri. Apalagi bila melihat dari karakteristik masyarakat pedesaan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan kekeluargaan sehingga dapat lebih mudah mewujudkan prospek kemandirian dan kesejahteraan Desa itu sendiri.
Bagaimana Potret Desa-Desa di Indonesia dalam mewujudkan kemandirian Desa?
Mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan Desa menjadi tujuan penting dalam pembentukan UU no. 6 Tahun 2014. Namun bagaimana realita dalam masyarakat Desa dalam merealisasikan prospek kemandirian dan kesejahteraan Desa yang sesuai amanatUU Desa? UU Desa sendiri telah memberikan pengaturan mengenai dana Desa yang diperoleh setiap Desa hingga 1 Miliar lebih Per Tahunnya. Sungguh dana yang sangat besar bagi pengembangan Desa. Bagaimana hasilnya? Dilansir dari laman setkab.go.id berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, Desa tertinggal mengalami penurunan hingga tersisa 13.232 Desa (17,96 persen) atau turun dibanding 2014 sebanyak 19.750 Desa(26,81 persen). Sedangkan Desa mandiri naik dari 2.894 (3,94 persen) pada tahun 2014 menjadi 5.559 Desa (7,55 persen) pada tahun 2018. Adapun Desa berkembang juga mengalami peningkatan dari 51.026 Desa (69,36 persen) menjadi 54.879 (74,49 persen).
Keseluruhan jumlah Desa mandiri berdasarkan data BPS tersebut pada tahun 2018 sebanyak 7,55% memang tergolong telah mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan pada tahun 2014 yang hanya sebanyak 3,93%, namun angka 7,55% tersebut masih dapat termasuk rendah jika dibandingkan dengan keseluruhan jumlah Desa di Indonesia, yang artinya 92,45% Desa di Indonesia belum tergolong dalam Desa Mandiri. Sejak keberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 pada tahun 2015 hingga kini, implementasinya belum bisa memberikan dampak signifikan dalam peningkatan kemandirian Desa di Indonesia bahkan setelah mengucurkan dana lebih dari 1 Miliar per Desa setiap tahunnya. Salah satu penyebabnya karena rawannya dana Desa dikorupsi. Dilansir dari laman cnnindonesia.com data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 252 kasus korupsi dana Desa sepanjang tahun 2015 hingga 2018. Selain dari faktor korupsi tentunya banyak faktor lain yang menimbulkan masih rendahnya jumlah Desa mandiri di Indonesia. Diberikannya kewenangan sendiri kepada Desa dalam mengatur dan mengurus keperluan desanya sehingga untuk mewujudkan kemandirian Desa itu akan kembali lagi tergantung kepada Desa itu bagaimana membuat kebijakan dan penggunaan dana Desa dengan baik dan bijak. Salah satu langkah strategis yang menurut penulis sangat penting adalah melalui pemberdayaan masyarakat Desa. Dengan dana Desa tersebut seharusnya mampu untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia dari masyarakat Desa. Bukan hanya semata-mata meningkatkan infrastruktur Desa saja melainkan meningkatkan daya saing dan produktifitas masyarakatnya adalah satu paket dalam pembangunan Desa. Melalui BUMDES dapat bekerja sama dengan masyarakat Desa dalam meningkatkan produk lokal yang terintegrasi dengan situs belanja online. Selain itu juga perlu dilakukan optimalisasi potensi Desa lainnya seperti pertanian dan peternakan serta bidang-bidang lainnya yang dapat memajukan ekonomi dan kemandirian Desa.
Bagaimana Mewujudkan kemandirian Desa
Melihat dari undang-undang nomor 6 tahun 2014 tersebut, maka dengan adanya otonomi Desa dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan Desa, maka menjadi tanggung jawab perangkat Desa maupun masyarakat Desa itu sendiri dalam mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan Desa. Apalagi dengan adanya dana Desa yang diberikan tiap tahunnya seharusnya dapat memberikan kemandirian dan kesejahteraan bagi setiap Desa di Indonesia. Dengan diberikannya keleluasaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa dalam Undang-Undang Desa, maka perangkat Desa tentu harusnya dapat lebih mudah dalam menentukan kebijakan Desa yang sesuai untuk pembangunan Desa dan kebutuhan Desa itu. Apalagi melalui Undang-Undang Desa ini masyarakat Desa juga berperan dalam pembangunan Desa melalui hak prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Sehingga apabila nilai-nilai dalam UU Desa ini dapat diterapkan dengan baik oleh setiap elemen terkait dalam sutau Desa maka akan dapat mewujudkan transformasi Desa menuju kemandirian dan kesejahteraan Desa. Justru sebaliknya jika amanat dalam Undang-Undang Desa ini tidak mampu dijalankan atau diimplemantasikan dengan sungguh-sungguh oleh perangkat Desa maupun masyarakat Desa justru akan menjadi bumerang bagi pembangunan Desa itu sendiri. Sehingga perlu dilaksanakan sosialisasi secara mendalam dan menyeluruh ke setiap Desa mengenai pelaksanaan pembangunan Desa sesuai amanat Undang-Undang Desa bukan hanya sekali saja namun setiap berganti kepengurusan baru perangkat Desa.
Daftar Pustaka
Fatah Fanami,A.,dkk.2019.Analisis Undang-Undang Desa.Jurnal Dialektika.4(1): 02-12
CnnIndonesia.com.2019. ICW Sebut Korupsi Dana Desa Desa Kian Meningkat .URL: cnnindonesia.com.Diakses tangggal 31 Maret 2020