Pelukanmu yang begitu kukenang. Hingga membuatku tidak pernah tenang.
Ku angkat kaki pergi ketika berita dari surga datang. Ku bisikkan penuh keyakinan “Aku akan pulang”.
Kapal kayu dengan mesin 18 GT berbunyi bergitu menderu, berjalan lurus menuju laut yang terbuka selebar mata memandang. Jauh. Bahkan tidak kulihat lagi sisi tertinggi di tempat kau berdiri melepasku.
Di setiap petang tiba, aku selalu duduk di belakang kapal merasakan setiap angin darat datang yang membisikan kerinduan.
“Kapan kau pulang?” suaramu yang menjelma merasuk dalam ke gendang telinga.
Ketika malam pekat meraja, aku bermain dengang nada, melantukan kata cinta. Oh sobat bawa pesanku ke tepi, pada pengisi hati yang sedang menanti. Kita yang selalu menatap bintang timur bersama sambil melekat lembut halus rambutmu di bahu. Arah yang sama kutuju di saat jauh.
Pernah kuminta satu pintah pada samudra, lekas kembalikan aku ke dermaga tua di tepian sana. Aku ingin berlabuh mengikat tali dan jatuhkan jangkarku.
“aku ingin pulang” melekatkan lembut kepalaku ke perutmu.Aku ingin berbagi cerita dengan yang disan a.
Ya Tuhan! sebawel apa dia sekarang?
Aku yang menghamba pertemuan, ingin mendekapmu erat. Bulan berlau, angin menyapu. Luluh lantakkan hingga raga tak berdaya. Barat daya menghempas dengan marah.
Mengapa dewa marah?
Aku hanya ingin menatap bening mata dan bercerita dengan putra. Mereka yang menanti di ujung dermaga, 17 mil sebelum aku jumpai kau duduk menyambut waktuku pulang.
**
“Aku di sini. Kau lihat? Aku pulang sayang.” Kau diam, tatapmu begitu dalam.
“Kenapa kau menangis? kau bahagia aku datang?” air matamu mengalir semakin deras.