Sejumlah Pakar Pendidikan Unnes yang terlibat dalam beberapa aspek penyusunan kurikulum 2013 melakukan ulasan dokumen kurikulum 2013, salah satunya adalah yang terkait dengan tinjauan teoritis buku kurikulum 2013. Menurut Tim Unnes antara lain Rektor Prof. Fathur Rokhman, Prof. Mungin E.W, Prof. Tri Marhaeni Pudji Astuti, Helena IR Agustien PhD, Prof. Achmad Slamet, Dr. Bambang Hartono dan Dr. Subyantoro, bahwa penghentian penerapan kurikulum 2013 adalah tepat, dengan catatan penghentian harus dimanfaatkan dalam upaya refleksi , evaluasi dan perbaikan kurikulum 2013 secara menyeluruh baik dokumen, sarana, guru hingga pendekatan pembelajarannya.
Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik, dinilai tidak bagus dalam penerapan pembelajaran, karena tidak semua mata pelajaran dipelajari dengan pendekatan saintifik dan tidak bisa dipaksanakan untuk semua mata pelajaran. Dalam pendekatan pembelajaran kurikulum 2013 harus bisa mencapai target kompetensi siswa yaitu kompetensi pengetahuan dan ketrampilan sedangkan kompetensi afeksi terkait kemampuan sosial dan religious memerlukan parameter kualitatif.
Pakar Pendidikan dari Unnes Prof. Mungin Eddy Wibowo mengatakan buku kurikulum 2013 yang ada saat ini lebih banyak memuat panduan pembelajaran, dikhawatirkan justru pembelajaran tidak akan dinamis jika guru tidak kreatif dan hanya mengacu pada Buku.
Disamping itu Sistem penilaian dan pengisian buku rapor dengan menggunakan kurikulum 2013 justru menjadi problem khusus yang dirasakan oleh para guru sebagai masalah yang paling pelik dan membingungkan, sehingga menyita sebagian besar waktu mengajar dan tugas lainnya. Menurut ulasan Riyadi, Spd. Seorang pendidik di SDN Sunyalangu di Banyumas, untuk menuangkan nilai yang dianggap autentik ke dalam buku rapor menjadi sangat repot. Penilaian autentik yang diharapkan kurikulum 2013 harus diinput dari data nilai anak melalui tiga aspek yaitu sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Teknik mendapatkan data nilai itu dengan berbagai cara diantaranya melalui pengamatan langsung dalam pembelajaran oleh guru, dan pengamatan langsung di luar pembelajaran dengan data yang didapat dari teman maupun informasi lain yang dapat (mungkin) dipercaya. Penilaian semacam ini bukanlah sesederhana yang dibayangkan, butuh waktu, pengamatan dan penginputan data untuk mendapatkan nilai yang benar-benar autentik dan bukan nilai asal-asalan.
Jika dibandingkan dengan kurikulum KTSP 2006, kurikulum 2013 kurang unggul dalam hal pembelajaran tentang keragaman. Menurut Ketua Badan Penjamin Mutu Unnes Dr. Subyantoro, KTSP 2006 justru lebih baik dalam memunculkan kekhasan daerah hingga pada tingkat satuan pendidikan, sebab setiap sekolah mempunyai kekhasan sendiri, kondisi siswa juga berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H