Aku mengambil Vacum dan menyedot debu di karpet. Jam 6.45 belum ada yang main. Tapi kenapa aku merasa tidak sendirian ? Apa Dav Pemalas menyelinap dan tidur di kamar atas? Aku berlari menaiki tangga. Pintu tertutup, tapi tidak dikunci. Kubuka pintu, siap mengomeli Dav habis habisan. Kosong ! Jendela yang pecah kemarin belum kuganti, hanya kuganjal dengan triplek tebal. Aku harus menelpon tukang kaca agar segera menggantinya. Kalau tidak, bisa bisa kompiku diangkut maling malam malam.
Aku turun ke bawah. Kunyalakan server. Kutes membuka 2 kompi. Dua duanya lancar. Billingnya oke. Tidak ada masalah lagi. Aku duduk sambil menunggu orang datang bermain. Jam 7, lalu 7.30... lalu 8... belum ada satu pun manusia yang nongol. Apa ini karena warnetku tutup 3 hari makanya setelah buka belum ada yang tahu aku sudah buka ? Bete aku sendirian, aku berjalan keluar. Seraut wajah kuntilanak sedang menatapku dari sebelah kanan. Delapan pintu dari  tempatku berdiri, ada warnet lain yang buka, pemiliknya seorang gadis yang setelah tamat S-1 tidak mendapat pekerjaan meski sudah melamar ke berbagai tempat. Aku menyebutnya Kuntilanak karena dia merupakan sainganku, dan bila melihat warnetku sepi, dia sengaja keluar untuk mengejekku.
" Hai, Jo. Kenapa tutup berhari hari ?"
Sialan. Kuntilanak itu menyapaku. Pasti dia senang melihatku tutup. Kalau aku tutup, warnetnya penuh. Kalau aku buka, rejeki terbagi dua, atau siapa beruntung dia mendapat  lebih banyak. Selama ini aku selalu lebih beruntung. Soalnya Kuntilanak itu galak, sering mengomeli anak anak yang main  kasar atau menghentak keyboar dengan telapak tangan.
" Aku diundang teman melancong ke Kalimantan. " jawabku pendek biar dia penasaran. Ohya, aku lupa mengatakan namanya. Namanya Legina, panggilannya Gina, tapi aku memanggilku Kuntilanak karena dia sainganku.
" Melancong itu ke Singapura atau Thailand. Kalau ke Kalimantan itu masuk hutan namanya !" ucapnya sinis, plus nadanya mengejek, dan bibirnya dipeyongkan ke kiri, khas sikap orang sirik.
" Betul. Aku diundang temanku ke hutan yang akan dibabat untuk dijadikan pabrik minyak Sawit. Disana aku bertemu sesosok Kuntilanak yang menakutkan, yang merasuki pekerja hingga idiot. Kuntilanak itu,-----" Kutatap Legina, dia memakai rok abu abu tua dan kaos hitam berlengan pendek. " sudah modren, memakai rok abu abu gelap dan kaos seksi. Rambutnya diikat poni mirip ekor kuda."
Legina mendelik, menatapku kayak dia drakula yang siap menancapkan taringnya ke leherku untuk mengisap darahku hingga kering. Tak sampai satu menit dia menguap, Â lenyap, hilang seperti kuntilanak. Pintu warnetnya pasti berdentam akibat hempasannya.
Aku menghampiri tukang lontong yang numpang jualan tak jauh dari warnetku. Aku memesan sepiring lontong, minta diantar ke warnetku. Kopinya kuseduh sendiri. Ada pemanas air di warnetku. Saat aku sedang menyeduh kopi, pintu warnet terbuka. Kukira ada yang mau main, ternyata tukang lontong mengantar pesananku. Tukang lontong tersenyum.
" Waktu nak Jo tutup, si Kunti keluar terus untuk memantau kesini. Dia kangen sama Nak Jo..." Â
" Gaklah" Bantahku. " Dia mengintip Rajit, soalnya Rajit berani main matanya dengannya. " aku tertawa. " Kalau aku, aku lebih suka bermain mata dengan Kunti beneran." Tukang lontong ikut tertawa bersamaku. Gak heranlah. Setiap hari aku membeli lontong, sedangkan si Kunti, sangking pelitnya tak pernah memberi duit pada pangamen, apalagi membeli lontong. Setiap hari kulihat tong sampahnya penuh plastik roti. Â Aku masih mending. Selain Rajit, aku punya seorang operator yang bekerja sambilan, namanya Gani. Gani masih kuliah. Jika tidak kuliah, ia mau saja kusuruh suruh dengan upah sekedarnya. Si Kunti itu menjaga warnetnya dari pagi hingga 11 malam. Aku heran, gimana ia menikmati hidup ?