DC memerhatikan setelah bersama 3 sore ia hapal kebiasan Belani. Datang 4.30, selalu menatap ke arus kanal, tidak mau pergi hingga jam 6 sore, seakan sedang menunggu buaya muncul di permukaan air.
" Ke mana-mana dikawal selama 9 bulan. Bahkan kalau aku ingin keluar bersama orangtuaku, selalu dilarang, diminta menunggu dia pulang." Omongan Belani mirip menggerutu.
" Kamu pasti tertekan selama 9 bulan. Bagaimana setelah Elia lahir ?" tanya DC.
Belani tidak menjawab. Dia seakan tahu sudah jam 6. Kontan ia berjalan menuju seberang dan masuk ke warteg. Hari ini ia memesan sambal tempe teri dan gulai telor. DC ikut memesan makanan yang sama.
Setelah makan, keduanya kembali ke atas jembatan. Kembali Belani menatap ke arus kanal. Di atas jembatan ada lampu penerangan jalan. Air kanal terlihat jelas walau ketinggian jembatan 5 meter  dari permukaan kanal.
" Dia memanjakanku setelah aku melahirkan anak perempuan. Mertuaku datang. Nyinyir tak karuan melihat rumah kami, mengatakan rumah kami tidak diurus dengan baik. Norak dan berantakan. Tidak estetika. Tidak itu, tidak ini. Pokoknya semua serba salah. Aku tak senang orangtuaku dihina." Wajah Belani berubah muram.
DC merasa ini awal petaka. Perbedaan klas sosial membuat mertua tidak menghargai menantu dan keluarga menantu. Adnan pasti serba salah kalau harus memihak.
" Mertuaku ingin mengajakku tinggal bersamanya. Tentu aku menolak. Karena, kalau aku ikut mertua, orangtuaku harus kembali ke gang, pasti dihina oleh tetangga-tetangga mereka. Aku ingin membahagiakan orangtuaku, bukan ingin mereka dihina." Mata Belani mulai berair. DC menyodorkan tisue, setelah itu ikut menatap ke kanal. Ia semakin paham awal petaka keluarga Belani.
" Apa Adnan ikut memaksamu?" tanya DC dengan nada bersimpati.
Belani menggeleng. " Dia bilang lebih praktis dia tinggal di HI, dekat dengan tempat kerja. Ibunya marah besar. " Belani terdiam sambil menghapus airmatanya.
" Apa mertuamu mengusir keluargamu ?"