“Jika aku terbang nanti, apakah kepakan sayapmu juga akan mengikutinya?” Sinar matamu mencoba menerobos hatiku yang genting. “Aku tak bisa berjanji. Aku takut mengingkarinya.” “Ayolah, aku adalah perempuan, dan aku butuh sedikit kepastian bahkan lebih,” rengekmu. “Jika aku bisa memberi kepastian tentang esok yang samar, pasti aku bukan laki-laki yang bisa kau sentuh.” Kilahku. Kau tertawa melengking ke angkasa. Cuma bulan kusam yang menemani kita. Bintang bisa kita hitung. Cinta kita cinta yang diam, hening dan pekat. “Jadi, esok akan samar untuk kuraba? Bagaimana aku akan menerjang badai, sedangkan kekuatan itu ada pada kepastian yang aku minta darimu?” Ujarmu saat langit berubah dan gelap. “Sayapku bisa patah. Nelangsa dan terkatung-katung!” “Berhentilah mengeluh. Telah jauh jalan yang kita tempuh. Kepastian apa yang harus aku berikan?” “Kita sudah dua puluh sembilan tahun, terlalu tua untuk kita permainkan rasa yang sengaja kita jaga semenjak lama. Megecap cumbu yang tak terkira kalinya. Ratusan puisimu telah aku baca. Semua sudah lengkap. Kepastian darimu akan membuatnya sempurna.” Aku terdiam. Kau mengejar beberapa kunang-kunang yang terbang disekeliling kita. Mengejar tak sepenuh hati. “Lihatlah, tanpa sebuah janji pun kita tetap mampu melangkah sejauh ini. Jadi jangan paksa aku!” langakahmu terhenti dengan tanganmu menggenggam beberapa ekor kunang-kunang yang kau tangkap. “Tubuhku terlalu ringkih untuk terus berjalan, dan kamu tak pernah menunjuk di mana ujung jalan ini. Ternyata ini cuma permainan.” Kunang-kunang itu terlepas. Mereka terbang disekitarmu. Cahayanya meremang di pipimu. Tubuhmu perlahan menghilang bersama kunang-kunang itu. Bayanganmu ikut dikulum malam pekat. Sungguh aku tak bisa menemukannya. Sebab kau telah bersekongkol dengan kelam. Gelap dan gulita disekitarku. Aku gemetar. Tak ada daya dan upayaku untuk bisa lagi mengulang kembali pada setiap tempat yang pernah kita singgahi. Lelang terasa hidup ini. Jejak-jejakmu telah aku simpan sebagai penawar rindu. Lembarannya aku bukukan. Ku kunci di setiap pintu-pintu mimpi. Tak ada cahaya, dan suara. Aku tak sudi kalau ada yang mengintipnya. Aku yakin, kau datang dengan beberapa ekor kunang-kunang. Menagih sebuah kepastian dariku. Meminta agar aku berjanji. Tapi keraguanku pada kita yang mengabaikan sebuah janji itu. Sebab kita adalah manusia yang terlahir dengan nafsu, rakus, buas dan dikelilingi banyak setan. *** Dengan siapa kau melangkah menapak ke ujung malam? Untuk siapa kau rangkai bunga, sekuntum yang rapi dan wangi? Ahh, aku tak bisa membaca alur mimpiku semalam. Cuma sedikit yang bisa aku terjemahkan. Itu pun hanya pertanyaan. Aku gelisah dengan ketakutan. Malam ke tujuh ribu tujuh ratus satu, sesuatu membisikan padaku agar aku mencarimu ke suatu tempat. Aku tahu siapa yang membisikan itu padaku. Dia adalah rindu. Dia telah meluap menggenangi gersangnya hati sejak aku kau tinggal pergi. Aku mengikuti arah yang dikabarkan rindu ke pucuk-pucuk telingaku. “Ke semua arah mata angin!” Bentaknya saat langkahku berhenti dipenghujung senja. Putus asa, lelah, dan pasrah. “Kamu memang pengecut!” Ejeknya. “Ingat, aku akan selalu mengganggu malammu dengan menjelmakan wajahnya ke pelupuk matamu! Aku menitipkan pada angin derai tawa dan celotehannya. Tentunya akan sampai pada telingamu!” Katanya mengancamku. Pikiranku kian kacau saja. Entah kenapa tiba-tiba saja aku benar-benar merasa menyesal. Merasa apa yang tlah aku perbuat selama ini padamu tidaklah benar. Dan suara tajam rindu itu tlah merobek hatiku! “Hei, dengar! Aku tidak dirancang untuk datang terlambat. Biar kamu tahu aku lebih hebat dari cinta. Hanya orang yang bodoh saja yang meletakkanku diurutan nomor dua” keluhnya. “Kamu pun pernah menulis kata-kata untuknya yang sedikit membuatku cemburu!” Dia mencoba membongkar masa laluku dengan berkata: “Aku punya banyak cinta dan rindu untukmu. Kau menyebutku setelah cinta bukan?” “Apa maksudmu menyiksaku dengan ancaman dan rasa cemburumu?” Tanyaku. “Tak pantas kau melepaskan marahmu padaku!” Cetusku. “Aku bukan satu-satunya manusia yang membutuhkanmu dan menjelmakanmu dalam kata-kata untuk seorang perempuan itu,” aku panik. “Kau tak pernah berterima kasih padaku Kresna. Ingat, akulah yang mengabarkan padamu bahwa dia juga mencintaimu. Kau sudah lupa bahwa aku telah menjelmakan rupamu pada setiap malam-malamnya? Semua dipenuhi bayangmu Kresna!” Jelasnya meminta pengakuanku. “Jika itu memang benar, kenapa sampai saat ini dia tak kunjung aku temukan? Perlihatkan padaku.” Lalu rindu itu terdiam. Menghilang. Aku mencarinya disudut-sudut kamar. Mungkin saja dia bersembunyi dibawah bantalku. Aku menyusuri seluruh isi kamarku. Mencari suara-suara rindu tadi. “Aku di sini!" Tak jelas dia di mana. Cuma suaranya saja. “Jangan pernah terlintas bahwa kau tak membutuhkanku lagi.” Di mana matahari? Aku ingin menyudahi perdebatanku dengan rindu ini. “Kau ingin tahu mengapa dia tak kunjung kau temukan?” Katanya lagi. Cepat-cepat aku mengangguk, sebab aku sudah tak berdaya lagi melawannya. “Sederhana saja jawabannya. Karena, kau terlalu pengecut terhadap hari esok. Bibirmu yang tak pernah jemu menciumnya itu, terlalu pecundang untuk mengatakan sebuah kepastian kepadanya. ” Rindu itu tersenyum membentuk sembilu. “Dibelakangku ada sesal yang siap selalu menghantuimu bila malam pekat. Aku yakin kau akan terpuruk olehnya!” Keringat dinginku keluar. “Kenapa tak kau selipkan saja sebuah cincin di jari manisnya? Dan kau tak perlu bicara tentang esok yang menurutmu samar itu, sederhana bukan?” Mataku meraba ke arah suara itu. Sesuatu dibelakang rindu itu berkata. “Kau tak pernah tahu perasaan perempuan!” Katanya lagi. “Aku tak pernah mengenal perempuan selain dia. Begitu juga cinta ini.” Lega rasanya saat segaris cahaya masuk disela jendela, matahari menyudahi mimpi malam yang melelahkan. Ada sisa keringat di dahiku. Aku membuka lebar jendela dan membiarkan cahaya itu masuk menjamah separuh ranjangku. Aku berjalan menuju cermin untuk menyeka keringat. Aku terkejut saat aku mendapati rupaku di dalamnya dengan kerut yang saling tindih. Rambut yang panjang dan berantakan. Sesuatu telah terjadi. Kemana perginya kata-kata yang selalu diucapkan seorang perempuan kepadaku yang menyuburkan angkuh dan sombong yang telah aku pelihara sejak dulu? “Kamu seperti Oscar de la hoya, Kresna. Tetap tampan dan jantan meski wajahnya dipukul berulang-ulang kali.” Katanya menirukan ucapan seseorang di televisi tentang petinju hebat itu. Aku panik dan kembali ke cermin itu. Meminta pengakuan bahwa aku masih seperti puluhan tahun yang lampau. Sebab, dialah saksi satu-satunya. Dan tak ada jawaban selain tatapan sebuah rasa heran. Aku meludah. Akhir-akhir ini aku memang sering meludah entah kenapa. “Hei, pergilah sebentar lagi taman itu akan berubah jadi gedung tinggi. Aku tak sudi kalau aku ikut tanggelam dibawahnya. Cepat kemasi aku, Dan aku akan mendoakanmu!” Apakah rindu yang berkata, atau sesal? Kalau sesal, aku takkan memperdulikannya. Sebab sesal selalu datang terlambat. Mataku mencari ke sekeliling kamar mencari tahu dari mana suara itu berasal. Mataku berhenti disebuah bingkai ungu. Di dalamnya aku dengan seorang gadis cantik. Mesra. Aku mengikuti seruan dari suara bingkai itu. Langkahku tertatih-tatih. Tak pernah aku selemah ini. Suara batukku membuat orang sekelilingku merasa terganggu. Uhh…menyedihkan sekali aku ini. Tak biasanya orang menatapku jijik. Dulu mereka takkan pernah bisa menarik sorotnya saat melihatku. Betapa nikmatnya saat itu. “Pak, bangku itu ada disebelah sana persis dibawah Beringin itu.” Aku mengerutkan keningku, bingung. Tangannya menunjuk arah selatan. Mengapa aku lupa tempat itu? Padahal tak ada waktu yang tak kami habiskan selain di sini. Aku melangkah. Menyapa beberapa orang termasuk penjual sate. Tak ada yang mengenaliku lagi termasuk penjual sate. Padahal aku sudah menukarkan banyak uang dengan mereka. “Apa yang kau cari setelah gerimis jatuh dan berlalu?” Kata seseorang kepadaku. Tubuhnya kotor. Baunya busuk. “Matamu liar memancar. Telapak kakimu tanpa alas, meninggalkan jejak di lembab tanah sekitar daerah yang telah aku huni lebih dari dua puluh tahun. Kau ingin merampasnya?” “Kaukah pengemis yang dulu? Yang selalu aku lihat di bawah pohon itu, ditemani kaleng. Atau banyak yang sepertimu? Kau sudah lupa, kalau sisa uang kembalian dari penjual sate itu, selalu aku lemparkan ke kalengmu itu? Sombong sekali kau!!” Balasku membentaknya. Tubuhku gemetar menahan emosi. Kudapati saat ini kenyataan di sini sudah tak seperti dulu lagi. Semua penghuni tempat ini berubah jadi pikun. Tak ada yang mengenaliku lagi. Padahal hampir separuh hidup, aku habiskan di sini. Merangkai ritual kasmaran, merawat cinta dengan harapan muncul putik rindu yang wangi. Bersama perempuan itu. My Rosi, begitu aku memanggilnya saat rindu datang bertamu. Aku mengukir namanya di pohon tepat di belakang bangku ini. Aku mencoba mencarinya dengan cahaya mata yang kabur, buram. Ternyata sudah tak ada. Pohon itu sudah berwarna-warni. Huruf yang ada di pohon itu tertata rapi dan juga angka-angka yang rapi dan terpaku kuat. Yang jelas bukan ukiranku. Disekelilingku ada beberapa muda-mudi melakukan ritual seperti yang aku lakukan dulu dengan perempuan itu. Saling melepas senyum terindah. Memegang jemari diselingi cubitan di pinggang. Berapa musim aku sudah kau tinggalkan? Dua musim? Seratus tahun? Atau sejuta kali purnama? Tidak, tidak. Baru kemaren kau pergi. Datanglah agar aku bisa melangkah setapak meninggalkan dilema ini, gumamku. Taman ini tak berubah. Penghuninya cuma pikun terhadapku. Ini disebabkan karena aku tak bersamamu lagi. Mereka cuma terbiasa melihatku bersamamu di sini sebagai dua sejoli. Bukan sendiri. Aku tetap di sini menunggu gelap. Menebus sesal, niat yang telat. “Kresna jangan tertunduk! Angkat kepalamu, lalu pergunakan mata elangmu itu untuk melihat ke orang-orang yang lalu lalang di depanmu!” Suruh sesuara. Pasti yang menyuruhku ke sini dan mendoakan aku tadi. “Pak boleh kami duduk di sini?” Pinta pemuda itu penuh harap. “Semua bangku di taman ini sudah penuh.” Katanya lagi. “Bapak pernah muda jugakan seperti kami ini?” Dia membawa mataku untuk melihat kekasihnya. Aku pun pergi dengan langkah yang terasa ngilu. “Apa kataku, aku akan menjelmakan kenagan itu padamu Kresna!” Dia datang lagi. Kenapa bisa? Bukankah dia hanya dalam mimpi menemuiku, membentakku? “Kresna jangan pedulikan, aku telah mendoakanmu!” Suruh sesuara. “Hei, kau seharusnya datang sesudahku. Kau hanya sebuah kenangan yang tak berguna!” Teriak rindu berang. “Kau terlalu sombong! Tanpa aku kau tak akan layak disebut rindu!” Balas kenangan itu. Mereka bertengkar. Perasaanku semakin kusut. Kacau. Bingung. Mereka bertengkar dan mengacaukan benakku. Aku terus saja berjalan dengan nafas yang tersengal. Melangkah payah mengelilingi taman kota ini. Mataku terlalu tajam untuk melewatkan sosok perempuan yang berjalan menuju ke arahku. Ada beberapa orang yang seiring dengannya. Aku tak memperdulikan rindu dan kenangan itu bertengkar. Sesuatu menguatkan tajam mataku pada sosok perempuan itu. Kau sembunyikan tubuhmu di balik lelaki itu, saat mata kita beradu menangkap kekagetan, getar dan getir. Penyesalan yang berlepotan di mataku. Tersentak. Aku terjaga ke masa lalu. Kau merasa menyesal mengenalku. Gundah yang begitu basi. Antara bimbang dan gamang aku meradang. “Ini aku!” Teriakku. “Aku yang menantimu sampai penghuni taman ini pikun! Dengan kerut semraut. Hingga rambutku putih berkabut. Aku yang mencarimu ke semua arah mata angin. Akulah laki-laki yang kau ibaratkan seperti petinju itu!” Aku mencegat langkahnya. “My Rosi! Abaikah kau pada panggilanku? Panggilan saat aku,” Ahh, aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Rindu pasti mencemoohku. Kemana perginya kenangan tadi? Padahal dia masih di sini. Di benakku. Tolong aku. Hasut dia. Sentuh hatinya. Tak ada suara. Sepi. Lampu temaram, dingin gigilkan tubuhku yang beraroma senja. Perempuan itu berdiri di depanku. Mata elangku pudar memancar. Kunang-kunang terbang memutar. “Separuh hati yang angkuh yang kau taruh ketika pertama kali aku berlabuh. Separuh hati yang luluh menyentuh ketika kau tertunduk rapuh. Semakin buatkan hatiku bergemuruh. Ketika ke angkuhanmu runtuh engkau tetap kukuh sekuat bunyi guruh.” Suaramu mendendangkan hatiku yang terus terjaga karena rindu. “Aku tak mendapati kepastian di matamu Kresna! Sampai saat aku ke sini dibawa kenangan dan sebaris rindu. Rindu yang hebat. Ternyata rindu yang hidupkan hari esok, memberi harapan dan kekuatan. Sampai kau seperti senja, tua, dan renta. Tetap saja tak ada sesuatu yang kau sematkan ke jari manisku. Tak seperti kemaren, aku datang tak menagih apa-apa darimu Kresna. Jika iya, pasti aku adalah perempuan yang bisa kau sentuh, dan kau cumbu layaknya dulu. ” Kau menangis. Terisak dengan nafas yang sesak. Jantungku kuat berdetak. Lalu kau lenyap. Dikulum malam dan bersetubuh dengan awan. “Kau terlalu tua untuk cinta serapuh itu. Kau tak berdaya, sebab kekuatanmu kau buang percuma!” Hatiku ngilu. “Dulu, jauh di masa lalu, saat perempuan tadi ingin menyerahkan separuh hidupnya padamu, kau masih menjadi seorang pengabai. Pecundang. Pengecut!!” Jelas sesal saat semua mulai gelap, senyap dan pengap. pariaman06
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H