Mohon tunggu...
Yo F -
Yo F - Mohon Tunggu... Dokter -

just an ordinary student who love travelling as backpacker

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Maaf, Bagiku Merekalah ‘Teroris’ Sebenarnya

5 Februari 2016   11:30 Diperbarui: 5 Februari 2016   12:44 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tadi malam saya mendapat kiriman screenshot dari teman berisi ciutan medsos salah satu konsultan dokter anak, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K). Bagi kalangan orangtua, rasanya nama beliau tidak asing karena beliau sering mengkampanyekan vaksinasi dan juga penggagas Rumah Vaksin. Dari halaman medsos tersebut, terpampang foto pasien anak usia 5 tahun yang menderita difteri. Tenggorokan anak itu ditrakeostomi (dibuat lubang agar bisa bernapas) karena kuman difteri membuat amandelnya membengkak dan menutupi jalan napas. Naas, anak itu meninggal. Dan lebih menyedihkan lagi, anak itu tidak pernah divaksinasi karena kakeknya antivaksin garis keras. Di Cirebon, tiga anak sudah meninggal karena difteri (1).

Satu hari lalu, saya pun mendapat seorang pasien anak usia 2 tahun. Ruam merah muncul di sekujur tubuhnya. Awalnya dikira demam berdarah oleh orangtua. Namun setelah diperiksa, bukan. Itu adalah ruam campak. Anak itu juga batuk dan sesak sehingga dipastikan mengalami komplikasi infeksi paru (pneumoni). Ketika saya bertanya, apakah anak pernah divaksinasi? Ibu berpikir lama... baru menjawab, anak tidak pernah divaksin sama sekali. Begitu pun juga dengan ketiga anaknya lain. Kakak anak itu juga baru menderita campak beberapa minggu lalu. Ketika saya tanya lebih lanjut alasannya? Ibu itu hanya menjawab singkat: “karena keyakinan”.

Keyakinan apa, pikirku? Soal haram, halal? Soal produk yahudi?

Masalah haram halal, saya akui tidak berkompeten untuk berdebat. Kalau digoogling, banyak pendapat dari kelompok agama dan praktisi kesehatan yang mendukung vaksinasi dan menjelaskan sisi haram halalnya. Vaksin bisa mencegah (beberapa) penyakit menular. Meskipun tidak 100% mencegah, setidaknya mengurangi risiko komplikasi. Andaipun anak menderita campak padahal sudah divaksin campak, umumnya gejala tidak berat dan praktis tanpa perlu perawatan. Akan tetapi, bila anak tidak divaksin dan sakit campak, anak sangat besar mengalami komplikasi seperti kasus di atas. Dan risiko terbesarnya, meninggal.

Bila organisasi keagamaan masih tidak tegas mengenai boleh/tidak atau halal/haram vaksin (2,3), rasanya masalah gerakan antivaksin akan terus bergulir. Lalu ketika anak meninggal, adakah rasa sesal orangtua dan kakek neneknya? Apakah anak bisa hidup lagi meski ditangisi cucuran air mata? Dan apakah organisasi keagamaan menutup mata?

Ingatlah, bahwa orangtua bisa dituntut melanggar UU no. 36 tahun 2009 dan UU Perlindungan Anak no. 23 tahun 2002, bila anak sengaja tidak divaksinasi. Sayang, kami tidak tega untuk menuntut orangtua seperti itu. Namun, maaf, bagi saya, merekalah “teroris” sebenarnya. Ketika anak mereka (yang tidak divaksin) menderita penyakit, sama saja mereka menggunakan anaknya “meneror” anak lain di sekitar dengan menularkan penyakit yang seharusnya bisa dicegah!

Referensi:

1. http://news.fajarnews.com/read/2016/02/04/8790/kabupaten.cirebon.waspada.difteri

2. http://health.detik.com/read/2015/03/04/184621/2849779/763/mui-baru-ada-3-vaksin-halal-di-indonesia

3. http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/395

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun