Mohon tunggu...
Yo F -
Yo F - Mohon Tunggu... Dokter -

just an ordinary student who love travelling as backpacker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisnis RS Swasta, Berhadapan dengan Kapitalis

13 Mei 2016   09:59 Diperbarui: 13 Mei 2016   10:07 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu di acara lepas sambut..

Pemimpin fakultas yaitu ibu dekan memberikan sambutan kepada kami… lebih tepatnya memberikan peringatan…

“Setelah kamu lulus, kamu akan berhadapan dengan RS swasta, berarti berhadapan dengan kaum kapitalis. Di mata kapitalis, uang adalah segalanya. Sejauh mana mereka dapat mempengaruhi anda, tergantung hati nurani anda.”

Kalimat-kalimat itu terkesan sederhana dan nyaris tanpa makna. Terselimuti oleh euphoria kelulusan menjadi seorang dokter. Namun kali ini aku mengingat kembali peringatan bu dekan itu. Kalimat yang ternyata membuatku mengelus dada. Satu vial (botol) vaksin DPT (difteri, pertussis, tetanus) buatan Biofarma bisa dibagi untuk 5 pasien. Sekali dibuka, vaksin DPT masih bisa tahan 4 minggu. Namun RS swasta tak mau ambil pusing. Pasien tetap dikenakan biaya satu vial (bukan seperlima vial).

Satu vial (botol) vaksin polio bisa untuk berpuluh bayi dan bisa bertahan 7 hari setelah dibuka. Seorang bayi hanya butuh dua tetes. Lagi-lagi RS swasta tak mau ambil pusing. Pasien dikenakan biaya satu vial. Bagi mereka yang berduit atau berasuransi, hal itu bukan masalah. Tapi bagaimana bagi mereka yang pas-pasan. Tak ayal, segala idealisme dokter bisa runtuh bila hati nurani berhasil ‘dipengaruhi’. Uang adalah uang. Business is business.

RS swasta beralibi bahwa hal itu dilakukan agar finansial untung. Keuntungan itu untuk gaji karyawan dan biaya operasional. Di satu sisi benar, tapi di sisi lain? RS swasta berbalutkan agama (maaf tidak menyinggung SARA) pun ternyata sama saja. Temanku berkata demikian “aku pikir yang punya muslim, direkturnya muslim sejati. Ternyata?? Sama ajaaaa.”

Aku menimpali “aku pikir yang punya kristen, direkturnya bervisi misi untuk memberikan pelayanan sesuai kasih Allah. Dan memang kenyataaannya?? Sama sajaaa.” Uang adalah uang. Business is business. Lalu, apakah bisnis itu kejam? Saya tidak berkompeten menjawabnya. Yang pasti, bukan dimana kita bekerja… tapi bagaimana kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun