Mohon tunggu...
Yo F -
Yo F - Mohon Tunggu... Dokter -

just an ordinary student who love travelling as backpacker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dicibir Ketika Belajar Berbicara Bahasa Inggris?

21 November 2015   20:32 Diperbarui: 21 November 2015   20:45 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Etnis India adalah salah satu etnis Asia yang banyak saya temukan di London. Banyak dokter keturunan India yang menjadi konsultan (dokter pakar/subspesialis) di sebuah rumah sakit pendidikan tempat saya menimba ilmu. Banyak pula dokter keturunan India yang bisa hands-on training disini.

Hands-on training adalah magan yang memperbolehkan dokter non-lulusan Inggris untuk berinteraksi lansung dengan pasien, termasuk ikut shift jaga malam. Untuk bisa hands-on training, seorang dokter non-lulusan Inggris harus mengikuti rangkaian tes yang tidak mudah dan tes itu dalam Bahasa Inggris. Harga tes pun mahal, sekitar 2000 pounds (45 juta rupiah) kalau melihat di internet. Jadi bisa dipastikan mereka yang bisa hands-on training, sudah pasti lulus ujian tersebut dan kemampuan Bahasa Inggris mereka sudah sangat baik.

Mempunyai kemampuan berbahasa Inggris, menurut saya, sangat diperlukan. Saya punya keterbatasan itu. Dan dampaknya, saya sulit menyampaikan pertanyaan dan pendapat dalam Bahasa Inggris. Apalagi ketemu supervisor yang ngomong Inggris nya cepat dengan aksen British yang kental. Kalau dengar pembicaraan Inggris sambil makan saja, saya tidak bisa mengerti 100%. Butuh fokus. Kalau mau bertanya, saya susun dulu kalimat dalam hati. Sekiranya sudah merasa benar kosakata dan grammarnya, barulah saya bertanya. Biar ga malu-malu amat.

Dokter keturunan India tidak memiliki kesulitan itu. Mereka fasih berbahasa Inggris dengan logat India yang khas. Saya pernah bertanya: “ I wonder why most of Indian can speak English fluently?”. Jawabnya kira-kira begini: “Because English is part of our life. We learn English since childhood. And many of us speak English in daily life. It is common for us to mix Indian, local language, and English during our conversation.”

Kalau orang Indonesia berbicara Bahasa Inggris, dicibir sok gaya, sok kebarat-baratan, dan ga nasionalis. Dan kalau tidak salah, mata pelajaran Bahasa Inggris dihapuskan di kurikulum pendidikan SD di Jakarta (benar kah?). Jamak ditemukan kita bisa berbahasa Inggris pasif (menulis), tapi sulit ketika harus berbicara aktif.

Kita mungkin perlu bertanya, apakah ada hubungan belajar berbicara bahasa asing dengan nasionalisme? Pada kenyataannya, tidak bisa berbahasa Inggris membawa kerugian. Bahan bacaan rujukan banyak yang berbahasa Inggris. Film banyak yang berbahasa Inggris. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, label makanan pun berbahasa Inggris.

Sering saya kesal dengan orangtua yang mengeluh malas membaca referensi artikel kesehatan berbahasa Inggris. Hari gini, ada google translate. Bisa juga diunduh aplikasinya di smartphone. Smart parents pasti punya smart phone kan?

Yah, kembali lagi ke diri masing-masing. Saya pribadi hanya bisa menyesal kenapa saya dulu malas kursus Bahasa Inggris padahal sudah dibiayain oleh orangtua.

 

#just my two cents...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun